Oleh: Fatimah Azzahra, S.Pd
Tinggal di Bandung
PANGGILAN “Ibu”, “Ummi”, “Mama”, “Bunda” yang disematkan kepada seorang perempuan, bukan hanya menandakan bahwa ia sudah melahirkan anak, tapi itu juga tanda ada amanah baru yang harus diemban.
Salah satu amanah itu adalah menjadi madrasah, atau sekolah pertama bagi anak-anak kita.
Saat memberikan nama pada sang buah hati, sudah terbesit apa saja yang kita inginkan baginya. Ada yang ingin agar anaknya menjadi ilmuwan, dosen, dokter, jaksa, hakim, dan lainnya.
Semua ibu pasti, insyaAllah, mengharapkan yang terbaik bagi anaknya. Sayangnya, setinggi-tingginya prestasi anak di dunia, semuanya tidak akan bermanfaat bagi ibu di kehidupan setelah dunia ini jika anak kita tidak termasuk anak yang sholeh/sholeha.
Sebagaimana sabda Rasul, “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya, kecuali shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat serta anak sholeh yang mendo’akan.” (HR. Muslim)
Kesholehan dan harapan-harapan kita tidak mungkin terwujud, jika ibu tidak memiliki bekal ilmu yang memadai. Sekadar memberikan uang dan memasukkan ke sekolah unggulan, tidak cukup membuat anak-anak menjadi unggul dan sholeh/sholeha.
Karena banyak yang tidak bisa dibeli dengan uang. Anak-anak kita butuh bimbingan, mereka butuh teladan dalam menggapai keimanan. Sehingga mereka akan dengan senang, dan ringan hati untuk melakukan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, termasuk juga mendo’akan kita, orangtuanya.
Allah swt berfirman dalam Qur’an surat Ar Ra’d, yang artinya,
“Mereka masuk ke dalamnya bersama mereka yang sholeh diantara orangtua mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.”
Allah sudah menjanjikan surga bagi mereka yang sholeh, bagi istri dan keturunan yang sholeh. Tapi, pertanyaannya, sudah sholehkah kita sehingga berani berharap anak-anak yang sholeh?
Apa dulu yang harus diajarkan, kapan harus mengajarkan ibadah, bagaimana sikap ibu menghadapi anak ketika anak tidak mau beribadah? Semuanya hanya bisa dijawab dengan ilmu.
Butuh segudang ilmu untuk menggapai keshalehan, ilmu itu tidak hanya dibaca dan dicatat tapi juga dipraktikan, sebelum akhirnya kita bisa mengajarkannya pada anak-anak.
Sebelum meminta anak untuk mengerjakan sholat di awal waktu, berilah teladan mengerjakan sholat di awal waktu.
Sebelum meminta anak untuk bersabar, berilah teladan kesabaran ketika anak membuat ibu kesal.
Sebelum meminta anak untuk senang berbagi, berilah teladan kedermawanan, ceritakan juga kisah-kisah keteladanan Rasul, para sahabat dan shabiyah.
Ya, semuanya tidak akan mudah saat ini. Walau kita sudah berusaha mengkondisikan keimanan dan kesholehan di dalam rumah, ketika anak berinteraksi dengan yang lain ia mendapat ‘warna lain’. Sehingga tak jarang membawa oleh-oleh kata-kata kasar, perilaku yang tidak biasa.
Disini kesabaran dan keuletan ibu diuji. Kita tidak bisa mengisolasi anak kita di rumah, ia butuh bersosialisasi, ia butuh belajar bersikap. Memang sudah menjadi kewajiban ibu ‘mencuci’ anak setelah ia berinteraksi di luar.
Bersama-sama memilah mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Jangan lupa semuanya harus dilandasi keimanan, ini boleh dilakukan karena Allah suka dengan orang yang melakukan hal ini.
Ketika kita mengerjakan apa yang Allah suka, maka Allah akan memberikan surga untuk kita. Karena itu, kita butuh dukungan masyarakat yang bisa mengkondisikan anak dan orangtuanya untuk bertujuan mencetak anak sholeh dan mensholehkan diri.
Tidak dipungkiri, walau hal ini sudah dilakukan masih akan terasa sulit mencetak kesholehan di jaman sekarang ini.
Sekarang, sangat mudah untuk melakukan maksiat ketimbang melakukan amal sholeh. Buktinya, lihat berapa banyak orang yang datang ke tempat hura-hura dan bandingkan dengan yang datang ke majelis ilmu.
Kita butuh peran negara yang bisa mendukung tujuan untuk mencetak anak sholeh dan diri yang sholeh melalui penerapan aturan Islam secara menyeluruh dalam setiap kebijakan negara. Wallahu’alam bish shawab. []