Cerpen Muhamad Pauji *
DIA hanya seorang gadis di antara ribuan gadis lainnya yang mendambakan pasangan hidup yang punya kepribadian. Terutama rumah pribadi atau mobil pribadi. Tapi apa boleh buat, sang takdir menentukan jalan hidup seperti apa adanya. Sekarang sudah tidak ada maskawin yang disimpan, tak ada sesuatu yang bisa diharapkan dan dibanggakan. Tak ada popularitas, cinta atau perhatian dari siapapun, termasuk dari suaminya sendiri.
Dia hanya bisa pasrah sumarah dinikahi oleh bujang lapuk yang biasa-biasa saja, juga penampilan dan kepribadiannya biasa-biasa saja. Suaminya itu hanya bekerja sebagai pegawai negeri tingkat rendah di kantor Departemen Kementerian Agama kabupaten Serang.
Sebagai istri yang sederhana, dandanan wanita itu biasa saja. Kadang-kadang ia merasa sedih dengan kondisinya. Bukankah manusia dilahirkan untuk menikmati kehidupan dunia ini, juga sah-sah saja kalau seseorang menikmati kemewahan seperti yang dialami orang-orang gedongan. Semantara rumah dia sangat sederhana, dindingnya rapuh dan bulukan, kursi-kursinya usang, atap-atapnya bobrok, dan kalau turun hujan bocor. Banyak lagi hal lain yang selalu ia keluhkan.
BACA JUGA: Kiara Payung
Sesekali ia berkhayal membayangkan hidup dalam kemakmuran. Ruang tamu yang indah dan lantainya berkarpet tebal. Beberapa pelayan bertubuh kekar dan gempal, serta kursi-kursi bagus dan antik, dilengkapi dengan meja kaca yang mentereng dan terkesan oriental. Dia juga membayangkan adanya kamar dan meja rias yang semerbak dengan aroma wewangian yang menggoda untuk tempat bercengkerama bersama teman-teman dekat, atau dengan pria-pria terkenal yang digandrungi, di mana wanita-wanita lain akan merasa iri dan penasaran lantaran ingin mendapat perhatian dan pujian seperti dia juga.
Ketika suaminya sedang menikmati sayur asem dan memuji masakannya, justru si istri tengah melamunkan banyak hal yang ingin dimilikinya. Di depan suaminya ia berkhayal seandainya mereka menikmati makan malam yang lezat dan mewah, peralatan makan dari perak yang berkilau, permadani yang memenuhi dinding dengan gambar klasik dari tokoh-tokoh terkemuka, dihiasi dengan bingkai bergambar bunga dan burung-burung indah berkicau di tengah rimbunnya pepohonan bagaikan di negeri dongeng.
Tetapi, apalah daya tangan tak sampai. Wanita itu tidak memiliki baju-baju indah, perhiasan-perhiasan mewah dan antik. Ya, dia tidak punya apa-apa, dan hidup ala kadarnya saja. Padahal, dia adalah wanita normal yang begitu ingin dirinya bahagia, dicemburui, menarik, bahkan bisa membuat orang lain tergila-gila.
Pada suatu sore, suaminya pulang ke rumah dengan perasaan penuh kemenangan sambil membawa sebuah amplop besar di tangannya. “Ini,” katanya, “ada hadiah untukmu.”
Wanita itu segera merobeknya, lalu menarik selembar kartu bertuliskan:
Kantor Departemen Agama
Kepada Yth.
Bapak Syamsul Hadi dan Istri
Dengan ini kami mengundang kehadiran Bapak/Ibu pada acara Silaturahmi dan Halal Bihalal yang akan diselenggarakan di aula gedung Kantor Departemen Agama, Jakarta, pada hari Senin tanggal 26 April 2021.
Tetapi, bukannya rasa gembira yang ditunjukkan sang istri, surat itu malah dilemparnya ke atas meja sambil mengeluh, “Sebetulnya apa yang kita harapkan dengan adanya undangan itu.”
“Ini suatu penghormatan, Sayang. Acaranya di Jakarta, dan ini kesempatan emas yang jarang sekali. Bahkan tidak setiap tahun terjadi. Selama ini saya berjuang keras untuk mendapatkan surat undangan ini.”
“Lalu?” kata istrinya tak acuh.
BACA JUGA: Disaster Jono
“Lalu apanya? Ini prosesnya melalui seleksi ketat. Tapi akhirnya, saya berhasil lolos juga. Semua orang akan datang ke Jakarta, terutama pejabat-pejabat penting di kementerian agama.”
Dia memandang suaminya dengan tatapan dongkol, dan berkata ketus, “Lalu, menurut kamu, saya harus memakai pakaian apa?”
Masalah itu belum kepikiran oleh suaminya. Ia berkata dengan suara gagap, “Emang kenapa? Saya kira baju yang dipakai lebaran kemarin masih bagus.”
“Apa? Baju lebaran?” cetusnya kemudian.
Suaminya terdiam, bingung, melihat istrinya mengeluh. Lalu, ia pun berkata menenangkan, “Kenapa, Sayang… coba sampaikan saja terus terang?”
Dengan usaha yang keras wanita itu dapat mengendalikan dirinya, kemudian menjawab dengan suara kalem sambil menyapu kedua belah pipinya yang basah, “Nggak ada apa-apa, Mas. Saya cuma mau menyampaikan bahwa istrimu ini nggak punya baju yang pantas untuk acara-acara yang dihadiri para pejabat seperti itu. Jadi, lebih baik berikan saja undangan itu kepada salah seorang di antara teman-temanmu yang istrinya jauh lebih baik dandanannya ketimbang saya.”
Suaminya semakin bingung, dan katanya lagi, “Ayo kita bicarakan bersama. Kira-kira berapa harga baju yang pantas dipakai, yang nantinya bisa juga dipakai pada kesempatan lainnya?”
Istrinya berpikir sejenak, lalu membuat kalkulasi harga sambil memperkirakan jumlah yang dapat diajukannya. Akhirnya, dia berkata dengan ragu-ragu, “Saya nggak tahu pasti harganya, tapi saya bisa mengusahakan baju itu dengan harga dua juta limaratus ribu.”
Suaminya agak pucat mendengarnya. Karena ia sendiri telah menyisihkan uang sejumlah itu untuk menggantikan plafon dan atap dapur yang semakin bocor. Tapi kemudian ia berkata, “Baiklah. Saya akan memberimu satu juta setengah, tapi usahakan agar mendapatkan baju yang menarik.”
Hari penyelenggaraan acara sudah mendekat, tapi Nyonya Syamsul Hadi tampak masih murung dan gelisah. Padahal bajunya sudah beli. Suatu sore, suaminya berkata kepadanya, “Ada apa lagi, Sayang? Ayolah, kenapa kamu kelihatan resah selama beberapa hari ini?”
“Saya bingung karena nggak punya perhiasan yang bisa dipakai, paling tidak kalung atau gelang emas. Saya khawatir nanti akan kelihatan gerogi dan minder di depan umum, apalagi di depan ibu-ibu pejabat tinggi itu.”
Suaminya lalu menjawab, “Kamu bisa memakai perhiasan dengan bunga-bunga alami. Tahun ini hal itu sedang menjadi trendy. Dengan hanya limapuluh ribu kita bisa mendapatkan bunga-bunga sebagai perhiasan yang kelihatan mewah dan glamor, bagaimana?”
Istrinya masih juga belum bisa diyakinkan, “Nggak mau ah, saya malu Mas, malu banget. Kadang-kadang saya ngeri membayangkan seorang wanita miskin seperti saya, lalu berbincang-bincang bersama wanita-wanita gedongan.”
BACA JUGA: Ucok, Abang Kami
Kemudian suaminya menghardik, “Kenapa kamu ini? Kayak orang nggak punya otak! Masalah begituan gampang saja. Tinggal pergi ke rumah Nyi Hindun, lalu minta tolong supaya dipinjamkan perhiasan untuk menghadiri acara di kantor kementerian agama di Jakarta. Tentu dia akan senang hati meminjamkan perhiasan, berapapun yang kamu butuhkan.”
Wanita itu kemudian tersenyum, lalu katanya dengan penuh gembira, “Iya, benar juga, Mas, seharusnya hal itu bisa kepikiran di kepala saya.”
***
Keesokan harinya dia pergi mengunjungi kediaman Nyi Hindun sambil menceritakan kesulitannya. Seketika Nyi Hindun berjalan ke sebuah lemari pakaian yang berlapis cermin. Ia mengambil sebuah kotak besar berisi perhiasan, membukanya, lalu berkata singkat kepada Nyonya Syamsul Hadi, “Silakan pilih, Sayangku.”
Pertama kali dipandanginya sebuah gelang dan kalung mutiara, kemudian anting-anting unik berwarna keemasan dan manik-manik. Sebagian dari perhiasan itu adalah hasil karya para perancang dari seniman-seniman Yogyakarta dan Bandung. Dia mencoba perhiasan-perhiasan itu di depan cermin sambil terkagum-kagum. Rasanya dia tak ingin melepasnya lagi, mengembalikannya lagi, dan kemudian ia berkata sambil tersenyum, “Apakah Nyi Hindun masih ada yang lain?”
“Ah, tentu saja ada,” ia mengambil lagi dari lemari. “Silakan pilih lagi, mana yang kamu suka?”
Lalu, dia menemukan di dalam sebuah kotak satin berwarna merah, seuntai kalung permata yang luar biasa indah. Jantungnya berdegup kencang. Kedua tangannya gemetar saat mengambilnya. Dipasangnya kalung mutiara itu ke lehernya. Perasaannya seakan melambung tinggi ke angkasa, terombang-ambing di awang-awang, ketika menatap kecantikan dirinya di depan cermin.
“Bisakah Nyi Hindun meminjamkan yang ini. Cukup yang ini saja.”
“Silakan, silakan… ambil saja….”
Dia pun melompat gembira, mencium pipi kiri dan kanan Nyi Hindun dengan mesra, lalu keluar rumah dengan melangkah cepat bersama perhiasan itu.
***
Penyelenggaraan acara Silaturahmi dan Halal Bihalal telah tiba. Nyonya Syamsul Hadi nampak sebagai wanita satu-satunya yang tercantik di antara mereka semua. Anggun, ramah, selalu tersenyum dan sangat menawan. Dia dapat melupakan segalanya, tenggelam dalam keanggunan dan kecantikannya. Terlihat begitu glamor dan gemilang, serta wajah yang cerah karena gembira dan kagum atas pujian-pujian orang. Segala keinginan yang terpenuhi, dan perasaan kemenangan yang sempurna begitu manis dalam hati sanubari seorang wanita.
BACA JUGA: Pesan Pendek Anas
Acara berlangsung hingga beberapa jam, dan baru selesai Pk. 23.00 menjelang tengah malam. Cuaca di luar gedung dingin karena musim hujan. Syamsul memanggil bajaj agar bisa mengantarkannya hingga terminal Kalideres.
Sebuah bajaj akhirnya mengantarkan kedua pasngan suami-istri itu, dan di tengah perjalanan sempat bersenda-gurau membicarakan acara yang telah mereka ikuti dengan sangat meriah. Sesampai di terminal Kalideres, mereka naik bus jurusan Jakarta-Merak, dan dalam hitungan beberapa jam sampailah mereka di depan rumah pada Pk. 04.00 pagi.
Sekitar jam delapan pagi, ketika Nyonya Syamsul Hadi terbangun dari tidur, kontan ia melangkah menuju cermin. Ingin rasanya bercermin sekali lagi, menyaksikan untuk terakhir kalinya kisah kejayaan tadi malam. Tetapi, tiba-tiba ia terperanjat dan menjerit-jerit histeris, “Ha! Mana kalungnya? Di mana kalungnya…!”
Suaminya yang hendak menuju kamar mandi bertanya-tanya “Ada apa, Sayang?”
Dengan perasaan panik dia berpaling ke arah suaminya, “Kalungnya, Mas… kalungnya hilang…!”
“Hilang di mana?” teriak suaminya kaget.
Ia mencari-cari di antara lipatan-lipatan bajunya, kemudian mengambil tasnya dan mencari-cari di dalamnya. Tetap juga tak ditemukan.
Suaminya bertanya dengan waswas, “Kamu yakin tadi masih memakainya waktu pulang acara Halal Bihalal?”
“Iya, masih. Waktu naik bajaj juga masih ada di leher?”
“Lalu, waktu naik bus?”
“Oo iya!” teriaknya kaget. “Saya sempat melepasnya, lalu tiba-tiba ketiduran di dalam bus…”
“Oo kalau kamu sempat melepasnya, berarti ia ketinggalan di bus?”
“Iya, pasti di dalam bus!”
“Apa kamu sempat mencatat nomor mobilnya?”
“Mana sempat!”
“Setidaknya kamu ingat nomornya?”
“Mana ingat! Yang saya tahu ya cuma warna mobilnya, kuning!”
“Ya, itu mobil Arimbi, jurusan Jakarta-Merak. Baik, siang ini saya mau datangi kantornya untuk menanyakan soal kalung itu.”
Siang hari Syamsul keluar rumah, sedangkan sang istri menunggu di kursi dengan baju yang masih melekat di tubuhnya. Ia melangkah lesu menuju kamar mandi seakan tanpa tenaga, tak berdaya, tanpa semangat, bahkan tanpa ada pikiran.
Suaminya kembali sekitar jam enam petang, tetapi ia tidak menghasilkan apa-apa. Besok paginya, ia pergi ke kantor polisi, kemudian kantor-kantor surat kabar, untuk memasang iklan dan menawarkan imbalan bagi siapa yang menemukannya. Ia pergi ke pul-pul bus Arimbi, menanyakan puluhan sopir dan kenek, lalu ia pun pergi ke mana saja, di tempat-tempat yang membuatnya terdorong oleh suatu harapan positif.
Istrinya tetap menunggu sepanjang hari dengan penuh kecemasan dan ketegangan tiada tara. Malam harinya sang suami pulang ke rumah sambil berjalan sempoyongan dan muka pucat. Sehari, dua hari, tiga hari, tetap tak mendapatkan hasil.
BACA JUGA: Raihan!
***
“Kamu datang saja ke Nyi Hindun, lalu bilang baik-baik bahwa jepitan kalung itu patah dan kita sedang membetulkannya ke toko emas, dengan begitu kita masih ada kesempatan untuk mengembalikannya nanti.”
“Jadi, Mas masih terus mencari kalung itu?”
“Ya, besok saya pergi lagi ke pul Arimbi dan menanyakan sopir dan kenek satu-persatu.”
Selama seminggu mereka telah kehilangan semua harapan. Dan Syamsul yang nampak bertambah tua tujuh tahun, akhirnya memutuskan, “Sekarang kita harus memikirkan bagaimana caranya untuk menggantikan perhiasan itu.”
Hari berikutnya mereka membawa kotak kalung menuju toko perhiasan yang namanya tercantum di kotak itu. Pemilik toko tadi kemudian memeriksa catatannya.
“Mohon maaf, bukan saya yang menjual kalung itu, Tuan dan Nyonya.”
Kemudian, mereka pergi menuju satu toko ke toko perhiasan lainnya, dari satu kota ke kota lainnya juga. Ia mencocokkan bentuk kalung, lalu mencari-cari kalung yang sama dengan yang dipakai sang istri. Mereka berdua saling mencocokkan ingatan masing-masing satu sama lain. Keduanya merasa tersiksa dan menderita.
Suatu sore, di sebuah toko emas di Pasar Royal Serang, akhirnya mereka menemukan seuntai kalung permata yang benar-benar mirip dengan yang mereka cari. Kalung itu berharga tigapuluh lima juta rupiah, suatu harga yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
“Sekarang yang kita pikirkan bagaimana harus mencari uang sebanyak tigapuluh lima juta itu,” kata sang suami.
Mereka meminta kepada penjual kalung itu agar tidak menjualnya kepada pihak manapun selama tiga hari ini. Kemudian sang pemilik toko meminta uang muka sebanyak lima juta rupiah, dan mereka pun bersedia mengabulkan permintaan itu. Lalu, mereka membikin kesepakatan yang ditandatangani di atas kwitansi, bahwa jika di akhir Agustus (terhitung tanggal 31 Agustus 2021) berhasil menemukan kalung yang hilang itu, maka mereka berhak menjual kalung itu kembali dengan harga tigapuluh juta rupiah.
Syamsul pun mencari pinjaman ke sana kemari. Meminta tujuh juta dari saudara-saudaranya, pinjam lima juta dari beberapa sahabatnya, empat juta dari teman-teman di kantornya, lima juta lagi dari pinjaman dengan menggadaikan BPKB motor satu-satunya. Ia menandatangi surat-surat utang berbunga tinggi, serta membuat persetujuan dengan rentenir dan pihak-pihak yang biasa meminjamkan uang. Ia seakan mempertaruhkan hidupnya, tanpa mengetahui apakah ia nanti sanggup membayarnya apa tidak. Tanpa menyadari halangan dan rintangan yang akan menimpanya, serta kemungkinan tekanan-tekanan yang harus ditanggung oleh batinnya. Ia pergi untuk memperoleh kalung baru, serta membayar kontan dengan harga tigapuluh lima juta rupiah.
BACA JUGA: Bantal Guling
Ketika sang istri mengembalikan kalung itu kepada Nyi Hindun, si pemilik kalung berkata agak dingin, “Baru dikembalikan ya? Mestinya beberapa hari setelah acara, kalung ini sudah ada di tangan saya.”
Nyi Hindun tidak membuka kotaknya, dan langsung menaruh kalung itu di lemarinya. Tapi nanti, seandainya dia tahu adanya penggantian itu, apa yang ada di pikirannya? Apa yang akan dikatakannya? Apakah dia akan menuduh istri Syamsul dan melaporkannya ke polisi?
Kini, ia semakin mengerti betapa mengerikannya kemiskinan itu. Utang-utang yang menumpuk itu harus dibayar. Dan dia berjanji akan membayarnya. Syamsul memulangkan pembantunya, mengubah tata ruang tempat tinggal dan merehab satu kamar untuk dikontrakkan. Sang istri merasakan betapa beratnya pekerjaan rumah tangga dan merawat dapur yang kotor. Dia mencuci peralatan makan, dengan kuku-kukunya yang kemerahan pada panci dan piring yang berlemak. Dia mencuci kain-kain kotor, baju-baju dan lap-lap, yang kemudian dijemur pada seutas tali. Dia membuang limbah dan sampah setiap hari ke tempat sampah.
Dia pergi belanja sayur, bumbu dapur dan lauk-pauk, menenteng kantong kresek berwarna hitam, tawar-menawar harga dengan para penjual, menahan hinaan, mempertahankan uangnya yang tinggal sedikit, rupiah demi rupiah. Setiap bulan mereka harus melunasi beberapa utang dan mencari pinjaman yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia menunggak lagi, dari warung ke warung, tambal sulam mengulur-ulur waktu.
Suaminya mencoba untuk mencari-cari kerja sampingan. Sesekali mengisi ceramah agama di wilayah selatan yang minim wawasan keagamaannya. Lalu, pulang membawa amplop dengan bayaran hanya seratus ribu perak. Dan kehidupan yang melelahkan ini berakhir selama sembilan tahun. Dan memasuki tahun kesepuluh, mereka telah membayar lunas semua utang-utangnya, ditambah dengan segala bunga-bunganya.
Sang istri kelihatan semakin tua saat ini. Dia telah menjadi seorang ibu rumah tangga dari kalangan biasa. Kuat, tegar, dan kadang-kadang kasar. Dengan rambut tak teratur, baju daster yang lusuh dan kotor, dia bicara lantang ketika sedang membersihkan lantai di antara gemericiknya air dari atap yang bocor. Namun terkadang, ketika suaminya sedang berada di kantor, dia duduk di samping jendela, dan mengenang masa-masa silam, terutama malam indah saat penyelenggaraan acara Silaturahmi dan Halal Bihalal di Jakarta, di saat dirinya begitu cantik dan anggun mempesona.
Lalu, apa yang terjadi seandainya kalung itu tidak hilang? Bagaimana nasib hidupnya jika saat itu kalung bisa ditemukan? Tak ada yang bisa menebak. Betapa takdir kehidupan ini begitu aneh dan tiba-tiba berubah seketika. Sangat mudah sesuatu melayang dari diri kita, dan sangat gampang tiba-tiba kita mendapatkan kenikmatan kembali.
***
Pada hari Minggu, ketika sedang berbelanja di pasar kecamatan Merak, tiba-tiba ia melihat seorang wanita yang sedang membimbing anak kecil yang mungkin cucunya. Wanita itu adalah Nyi Hindun. Dia terlihat masih muda, segar, cantik dan tetap memikat.
BACA JUGA: Kolak Pisang
Ia merasa kaget dan terenyuh dalam hatinya. Akankah dia menegur dan mengajaknya bicara? Ya, tentu saja. Apalagi sekarang, ketika dirinya sudah melunasi semua utang-utangnya, dia merasa leluasa akan menceritakan kepada wanita itu tentang semua yang telah terjadi selama ini.
“Apa kabar, Nyi Hindun?”
Wanita yang disapa terperanjat atas keramahan seorang ibu rumah tangga yang sederhana itu, bahkan sama sekali tak dapat mengenalinya. Ia berkata gagap, “Siapa ya? Sepertinya saya pernah kenal akrab?”
“Ini saya, Nyonya Syamsul yang dulu pernah pinjam kalung sama Nyi Hindun.”
“Ya, ampuuun!”
Mereka berpelukan dan saling mencium pipi kiri dan kanan.
“Masya Allah… kenapa kamu kelihatan berubah begini?”
“Ya, memang benar, Nyi Hindun. Selama ini saya sudah melewati saat-saat yang menjadi beban berat dalam hidup saya. Semuanya ini bermula dari pertemuan saya dengan Nyi Hindun…”
“Saya? Ada apa? Coba ceritakan beban apa itu, Sayang?”
“Apakah Nyi Hindun masih ingat tentang kalung permata yang pernah saya pinjam untuk mengikuti acara Halal Bihalal di Jakarta itu?”
“Ya, saya ingat sekali, lalu?”
Sambil mendesah dan menarik napas, ia melanjutkan, “Saya menghilangkan kalung itu.”
“Lho? Bukannya sudah dikembalikan? Kalung itu masih ada di lemari saya, kok?”
“Yang saya kembalikan itu adalah gantinya. Saya membelinya dari toko emas di Pasar Royal Serang setelah berhari-hari mencari bentuk yang sama dengan kalung yang dipinjamkan ke saya. Kalung itu saya beli dengan harga tigapuluh lima juta rupiah. Nyi Hindun tentu paham untuk orang semacam saya ini, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat melunasi utang sebanyak itu. Tapi syukurlah, sekarang ini sudah terlunasi semuanya.”
Nyi Hindun berdiri terkesima, ia menatap teman bicaranya dengan penuh iba, “Jadi kalung yang ada di lemari saya itu adalah pengganti dari kalung saya yang hilang?”
“Ya benar, Nyi Hindun.”
Nyi Hindun menyeka keringat di keningnya, “Aduuuh, saya nggak pernah memperhatikan kalung itu selama ini.”
BACA JUGA: Lelaki Itu Melamarku
“Mohon maaf, Nyi Hindun…”
“Justru saya yang harus minta maaf!”
Sambil memegang kedua lengan dan memeluk teman bicaranya, Nyi Hindun berbisik ke telinganya, “Kalung saya itu hanya imitasi, bukan kalung asli, dan harganya cuma seratus ribu perak!”
***
*Esais dan cerpenis generasi milenial, aktivis OI (Orang Indonesia), menulis artikel dan cerpen di berbagai media massa lokal, nasional dan media daring.