Oleh: Wahid Mutashim
wahidmb1611@gmail.com
KATA syukur berasal dari kata ”syakara” yang berarti “membuka,” sebagai lawan dari kata “kafara” (kufur) yang berarti “menutup.” Sedangkan menurut istilah syara’ syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah yang disertai dengan ketundukan kepadanya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Para ulama mendefinisikan Syukur sebagai ungkapan aplikatif dengan menggunakan segala apa yang dianugerahkan Allah SWT sesuai dengan tujuan penciptaan anugerah itu. Karena itu syukur terbagai pada tiga bagian; syukur i’tiqodi (bersyukur dalam bentuk keyakinan), syukur qauli (bersyukur dalam bentuk ucapan) dan syukur ‘amali (bersyukur dalam bentuk perbuatan dan perilaku).
BACA JUGA: Seni Menentukan Batas Syukur dan Sabar
Jadi untuk mensyukuri suatu nikmat secara sempurna, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu untuk apa nikmat tersebut diciptakan dan dianugerahkan Allah SWT. Misalnya, untuk apa mata, telinga, akal dan alam ini diciptakan Allah SWT. Jika telah ditemukan jawabannya, maka gunakanlah nikmat itu sesuai dengan tujuan dimaksud.
Mengapa kita harus bersyukur ?
Banyak firman-firman Allah yang memerintahkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah diberinkan-Nya. Salah satunya yang dikisahkan tentang Nabi Dawud as. Allah SWT berfirman, “Wahai keluarga Dawud, beramallah sebagai bentuk syukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali di antara para hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba: 13)
Pada ayat tersebut, Allah SWT memerintahkan kepada keluarga Nabi Dawud untuk beramal kebajikan dan mengajak keluarganya dengan amal shalat, puasa, dan lain sebaginya. Perintah tersebut ditekankan karena besarnya nikmat yang Allah berikan kepada Nabi Dawud dan keluarganya.
Lain kisah yang terjadi pada Nabi Ayyub as. Nabi Ayyub diberi ujian oleh Allah SWT berupa diambil semua hartanya, anaknya meninggal dunia, tiga istri meninggalkannya, dan iblis menggodanya dengan berkata, “Ayyub, untuk apa kamu terus ibadah, padahal anak istrimu telah meninggalkanmu.” Nabi Ayyub menjawab, “Semua disekelilingku adalah titipan, termasuk diriku sendiri adalah titipan. Jadi, aku ikhlas dengan semua ketentuan Allah SWT.”
Tidak cukup sampai disitu, iblis yang semakin marah mendengar jawaban Nabi Ayyub lalu meniupkan angin panas ke tubuh Nabi Ayyub yang mengakibatkan beliau terkena penyakit kulit yang sangat parah, bernanah, keluar bau yang tidak sedap, sampai masyarakat meminta kepada satu istrinya yang masih setia untuk membawa pergi Nabi Ayyub ke tempat yang jauh dari masyarakat.
Penyakit yang dideritannya ini hampir saja menghabisi daging tubuh Nabi Ayyub. Dengan kondisi yang semakin parah, istrinya memohon kepada Nabi Ayyub agar berdoa kepada Allah SWT supaya disembuhkan penyakitnya. Namun Nabi Ayyub menjawab dengan perkataan yang menggetarkan hati, “Istriku, berapa lama kita bahagia dan berapa lama aku sakit? Rasanya aku malu meminta kepada Allah untuk disembuhkan padahal kenikmatanku lebih banyak daripada sakitku.”
BACA JUGA: 4 Kalimat Syukur yang Dianjurkan Dibaca Saat Pagi
Dari kisah Nabi Ayyub ini dapat memberikan contoh yang sangat indah tentang definisi dari bersyukur. Dalam kondisi seberat apapun, beliau tetap melihat dan mengingat kenikmatan yang telah Allah SWT berikan kepadanya.
Sehingga ujian yang Allah berikan kepadanya diterima dengan ikhlas dan ridha sebagai wujud penghambaanya yang sangat tegar. Kualitas syukur Nabi Ayyub yang sangat sempurna membuat beliau tetap berada dalam stamina iman yang kokoh dan kuat. Wallahualam bi Showaab. []