“Segala sesuatu selain dzikrullah itu permainan dan kesia-siaan, kecuali terhadap empat hal; yaitu seorang suami yang mencandai istrinya, seseorang yang melatih kudanya, seseorang yang berjalan menuju dua sasaran (dalam permainan panah, termasuk juga dalam berlomba), dan seseorang yang berlatih renang,” (HR. An-Nasa’i. Shahih, kata Muhammad Abdul Halim Hamid).
KETIKA jima’ hanya merupakan peristiwa biologis yang cuma memberi kenikmatan inzal, sedang mereka tak menemukan kenikmatan lain yang lebih menyentuh rasa kemanusiaan (jangan bicara yang lebih tinggi dulu), maka hari ini kita saksikan orang sibuk membicarakan seks, seks, dan seks tanpa beranjak dari pola pembahasan yang hampir semuanya cenderung menekankan kepada aspek fisik.
Lagi- lagi tidak menyentuh kepada aspek jiwa. Setiap hari orang sibuk berbicara tentang seks. Media massa memberi porsi yang besar terhadap seks; seks di rumah, seks di kantor, dan menyegarkan kembali hubungan seks dengan istri (masih untung kalau begini) melalui perpindahan tempat. Mereka sibuk menawarkan cara, misalnya suami-istri bepergian ke satu hotel dan melakukan hubungan seks di sana, tanpa mendengar keceriaan tawa anak-anak yang mengganggu.
Pada saat yang sama, manusia juga disibukkan untuk mempercantik diri. Sebagian dari mereka disibukkan dengan obsesi untuk melakukan rekayasa kecantikan demi mempertahankan daya tarik seks mereka di hadapan suami. Kita pernah membaca di media massa, sebagian di antara mereka melakukan operasi plastik untuk memancungkan hidung dan memontokkan payudara. Di antaranya berakhir dengan tragis; hidung yang patah, pembusukan payudara, kerusakan wajah akibat kosmetik yang berlebihan.
Ini adalah ironi kemanusiaan. Di saat manusia semakin “terdidik”, mereka justru mengalami kemerosotan dalam kehidupan psikisnya. Mereka terjebak pada aspek fisik yang sangat zahir, sehingga keelokan rupa yang menjadi perhatian utama (dan karena itu cepat membosankan). Padahal sesungguhnya, ada yang lebih berarti.
Adakalanya orang aktif secara seksual, tetapi mereka tidak menemukan kesejukan dalam rumahnya. Rumah berhenti sebagai bangunan yang beratap dan berpintu. Mereka aktif bertasabbub, istri melahirkan anak hampir setiap dua tahun sekali (kadang malah tidak sampai dua tahun), anak mereka sampai lebih dari lima orang, tetapi tak ada kedamaian di rumah. Hubungan antara suami dan istri tidak akrab, apalagi mesra (kecuali saat berjima’).
Ini berarti, ada yang lebih indah dari jima’. Keindahan di luar jima’ ini memang bisa semakin menyempurnakan keindahan dan kenikmatan jima’. Tetapi keindahan itu bukan terletak pada tercapainya inzal saat berjima’. Ada kesenangan hidup dalam rumah tangga (semoga Allah memberikan kesenangan itu kepada keluarga kita). Dan kesenangan itu bukan terletak pada kecantikan wajah –yang membuat sebagian orang merasa cemas dan dilanda ketakutan ketika usia mendekati 40 tahun.
Kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, “Allah menjadikan penyebab kesenangan adalah keberadaan istri. Andaikata penyebab tumbuhnya cinta adalah rupa yang elok, tentunya yang tidak memiliki keelokan tidak akan dianggap baik sama sekali.
Kadangkala kita mendapatkan orang yang lebih memilih pasangan yang lebih buruk rupanya, padahal dia juga mengakui keelokan yang lain. Meski begitu tidak ada kendala apa-apa di dalam hatinya. Karena kecocokan akhlak merupakan sesuatu yang paling disukai manusia, dengan begitu kita tahu bahwa inilah yang paling penting dari segala-galanya. Memang bisa saja cinta tumbuh karena sebab-sebab tertentu. Tetapi cinta itu akan cepat lenyap dengan lenyapnya sebab.”
Keberadaan istri (atau suami) itulah yang lebih indah daripada jima’ atau memandangi kecantikan wajah istri yang tidak terhalangi oleh bedak tebal. Sekalipun demikian, seorang istri perlu menjaga suaminya agar tidak tergoda oleh kecantikan wanita lain. Ini dilakukan dengan dua hal, setidaknya baru ini yang saya ketahui. Pertama, melayani dengan penuh kehangatan (syukur jika mau mengingatkan suami tentang hal ini) jika suami harus pulang mendadak karena tergoda oleh kecantikan wanita di perjalanan. Kedua, tidak menceritakan kecantikan wanita lain seolah-olah suami melihat sendiri. Apalagi imajinasi sering memberi kesan yang lebih kuat dibanding melihat secara langsung (selengkapnya baca bab Biarlah Engkau yang Tercantik Di Hatiku di jendela tiga buku ini).
Anda bisa memberi izin atau bahkan menganjurkan suami untuk matsna (menikah lagi untuk yang kedua kali) dengan wanita lain secara sah sehingga bisa menjadi teman untuk berjuang bersama-sama dengan Anda. Tetapi Anda tidak bisa memberinya izin untuk membayangkan wanita lain. Anda perlu menjaganya (disamping suami juga perlu menjaga dirinya sendiri).
Di sinilah keunikan agama kita sekaligus menunjukkan kesempurnaannya dalam mengatur setiap sisi kehidupan kita. Ada wasilah (perantara), ada ghoyah (tujuan). Kita hendaknya tidak terjebak pada wasilah sehingga melupakan ghoyah. Tetapi kita juga sebaiknya tidak melupakan wasilah karena memandang ghoyah.1
Maka mudah-mudahan kita bisa mengikhtiarkan agar keberadaan kita mempunyai makna bagi teman hidup kita. Jika kehadiran kita tidak bisa dirasakan maknanya oleh teman hidup kita, maka keluarga akan runyam. Akan terasakan kekeringan atau kegersangan komunikasi dan selanjutnya membuat jiwa merasa lapar jika terlalu lama berlangsung. Hubungan dalam keluarga terasa beku tanpa kehangatan. Hubungan dalam keluarga lebih bersifat peran-peran atau tugas-tugas. Ini dapat menegangkan. Apalagi kalau sampai terjadi keadaan di mana adanya kita lebih buruk daripada tidak adanya, maka dapat dibayangkan bagaimana suasana dalam keluarga itu (naudzubillahi min dzalik).
Saya ingin melanjutkan pembahasan mengenai masalah ini. Tetapi sebelum itu, marilah kita berhenti sejenak untuk memohon barakah kepada Allah Yang Maha Pengasih atas keluarga kita, pernikahan kita, dan atas diri kita. Mudah-mudahan Allah mengampuni kekeliruan kita.
Ketika pernikahan kita barakah (ya Allah, barakahilah pernikahan kami dan ampunilah kesalahannya), maka kehadiran kita sangat berarti bagi teman hidup kita. Kehadiran Fathimah Az-Zahra bagi suaminya, Sayyidina Ali karamallahu wajhahu adalah gambaran paling mempesona. Saya sangat terkesan dengan keindahan pernikahan mereka, sehingga ingin menuliskan sekali lagi komentar Sayyidina Ali tentang istrinya. Kata Sayyidina Ali, “Ketika aku memandangnya, hilanglah kesusahan dan kesedihanku.” []
Sumber: Kupinang Engkau dengan Hamdallah karya Mohammad Fauzhil Adhim