INI kisah tentang teman masa kecil. Rumahnya sebelahan dengan rumah kaka. Saya tinggal di rumah kaka. Dia sebaya dengan saya. Ganteng. Sopan. Pinter. Kalau ke langgar untuk mengaji dan shalat, selalu bersama. Atau nangkap belalang dan ikan di selokan. Sorenya main bola di sawah sampe Maghrib. Atau makan bareng di rumah pohon Kersen (life in 80’s, how beautiful it was).
BACA JUGA: Ramadhan di Pasar Rebo
SMP udah mulai sama-sama menjauh. Saya kemana dia ngapain. Kalau ketemu, masih say hi. SMA, kita punya temen masing-masing yang lain. Saat itu, dia udah pake anting dan ada tato di tangannya. Saya mendengar dari tetangga, dia setiap malam nongkromg di jalan kereta. Pagi hari, jika berangkat sekolah, kami yang melewati jalan kereta api, bakal menemukan beberapa botol dan cangkang kacang garing dimana-mana.
Satu pagi buta, kami dikejutkan, dia ditangkap karena membacok orang. Dia ditemukan di kandang ayam, bersembunyi. Teler. Botol-botol mengubahnya dalam jangka waktu tertentu, lima tahun bergulir sejak persahabatan kami.
BACA JUGA: Berenti Makan Mie
Kejahatannya ga ada hubungannya dengan apa yang ia tenggak. Namun apa yang ia minum, berkaitan erat dengan perbuatannya. Ia tidak sadar. Ia, yang ganteng, sopan, pintar, baik, berubah jadi manusia, yang waktu itu, saya sendiri, jujur aja, enggan bertemu dengannya.
Hampir 25 tahun lamanya, tak pernah lagi bertemu. Semoga satu saat, mushola kecil, sawah, ikan-ikan di selokan, dan pohon kersen, jadi pengingatnya kembali; hidup ini indah. []