MENGAJAR agama di sebuah lembaga, dengan akad ijarah yang jelas, dengan gaji atau upah mengajar agama yang jelas, ini boleh hukumnya menurut jumhur ulama mutaakhkhirin.
Dan “mengharap” upah mengajar agama dari akad ijarah seperti ini tak masalah, tak tercela, kecuali bagi yang mengikuti pendapat bahwa ujrah dalam mengajar agama haram secara mutlak.
Ini beda halnya dengan mengisi ceramah, tabligh akbar atau semisalnya yang tidak menggunakan akad ijarah.
BACA JUGA:Â Inilah 4 Adab Guru terhadap Murid
Pada kondisi ini, prinsip awalnya adalah kewajiban dakwah dan ta’awun ‘alal birri wat taqwa, tanpa mengharapkan imbalan, karena memang tidak diakadkan di awal.
Pada kondisi ini, menjadikan imbalan atau amplop atau transfer sebagai “target utama”, merupakan cela, apalagi jika disertai kejengkelan karena isi amplop tak sesuai harapan. Ini satu hal.
Hal lain, kadang sebagian pihak keliru prioritas. Untuk pengisi tabligh akbar atau ceramah tematik (kadang tanpa tema yang jelas), hanya karena namanya sudah tenar dan besar, diberi amplop besar bahkan kadang jor-joran dalam promosi yang tentu juga makan biaya besar.
Padahal, hasil dari kegiatan-kegiatan tersebut dalam peningkatan ilmu dan kualitas keislaman tidak terlalu besar.
BACA JUGA:Â Fakta Imam Abu Hanifah; Menuntut Ilmu kepada 4.000 Guru
Upah Mengajar Agama
Sebaliknya, pengisi kajian rutin, baik baca Al-Qur’an, fiqih, bahasa Arab, dll, yang beberapa kali pertemuan sepekan, dengan target yang jelas, dan hasil yang relatif jauh lebih signifikan, hanya “dihargai seadanya”. Kadang ditambah dengan nasehat “mengajar agama itu harus ikhlas”.
Padahal, seandainya memang kurang dana, maka prioritas gaji (upah mengajar agama) atau tunjangan harusnya diberikan ke pengajar kajian rutin tersebut. Sedangkan pengisi tabligh atau ceramah itu, cukup diberi ucapan terima kasih saja. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara