SERING kali kita baca atau kita dengar berbagai statement yang mencibir (baca : nyinyir) kepada mereka yang menampakkan berbagai amal kebaikan atau kenikmatan di medsos. “Amal salih kok dipamerkan di medsos “, atau “Ibadah kok dipamerkan di medsos”, atau “Kebaikan itu tidak boleh dipamerkan”, “ atau yang semisalnya. Seakan, setiap orang yang menampakkan atau menampilkan amal salih, kebaikan, dan kenikmatan di medsos, itu pasti untuk pamer atau riya’. Sehingga muncullah meme-meme yang menyudutkan semua pihak yang melakukan hal itu. Seolah, mereka semua buruk, tanpa ada perincian sama sekali.
Pamer ataupun riya’, merupakan amalan hati, yang sifatnya ghaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Nabi saja tidak tahu tentang hati orang-orang munafik apabila tidak dikasih tahu oleh Allah. Maka beliau menghukumi zahir mereka sebagai orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman :
لاَ يَعْلَمُ الغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Tidak ada yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah.” [Al-Qur’an Al-Karim]
BACA JUGA: Riya Itu ketika,…
Lalu bagaimana anda dengan begitu mudah bisa mengetahui bahwa mereka melakukan perkara tersebut untuk tujuan pamer/riya’ ? Ini perkara yang tidak bisa dibenarkan sama sekali. Sebuah kelancangan makhluk terhadap Rabb semesta alam. Mengetahui niat dan hati seseorang hanyalah hak prerogatif Allah. Tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang bisa ikut campur di dalamnya.
Selain itu, menampakkan amal kebaikan, atau ibadah, atau kegiatan positif, tidak mesti untuk tujuan pamer atau riya’. Bisa jadi pelakunya ingin memberikan motivasi, atau inspirasi kepada orang lain, atau minimal tahaduts bini’matillah (menampakkan nikmat Allah). Dan hal ini diperbolehkan menurut syari’at. Banyak dalil yang menunjukkan akan hal ini, diantaranya firman Allah Ta’ala :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menginfakan harta mereka di malam dan siang hari secara sembunyi-sembunyi dan TERANG-TERANGAN, maka bagi mereka pahala di sisi tuhan mereka, dan tidak ada kekhawatiran atas mereka dan mereka tidak bersedih.” [QS. Al-Baqarah : 274]
Dalam ayat ini, dengan jelas Allah membolehkan untuk berinfaq dengan terang-terangan, maksudnya ditampakkan kepada manusia. Jika haram, tentu tidak akan dibolehkan, alih-alih diberi pahala. Belum lagi berbagai amaliah dari Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri, serta para sahabat yang menginfaqkan hartanya secara terang-terangan, seperti Abu Bakar, Umar bin Al-Khathab, Utsman bin Affan dan yang lainnya. Apakah kita akan berani mereka melakukannya karena riaya’ ? Tentu tidak.
Riya’ yang diharamkan, hanyalah saat seorang menampakkan amalannya kepada manusia dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan duniawi, seperti pujian, harta, kedudukan, serta meninggalkan keikhlasan kepada Allah. Tapi jika dilakukan untuk memberikan inspirasi atau motivasi kepada orang lain untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang dia lakukan, maka ini boleh, bahkan dianjurkan. Maka, tidak setiap penampakkan amalan berarti riya’, tapi harus dilihat tujuannya.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami –rahimahullah- saat mendefinisikan riya’ beliau berkata :
حَدُّ الرِيَاءِ الْمَذْمُوْمِ إِراَدَةُ العَامِلِ بِعِبَادَتِهِ غَيْرَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى
“Batasan riya’ yang tercela, adalah seorang yang beramal menghendaki dengan ibadahnya selain wajah Allah Ta’ala.” [Dinukil lewat kitab Nadhratun Na’im : 10/3552]
BACA JUGA: Bahaya Riya’ Bisa Jadi Dosa Syirik!
Jadi, menurut definisi beliau dapat kita pahami berarti ada riya’ (menampakkan amalan) yang tidak tercela, yaitu ketika hal itu dilakukan dengan tujuan yang baik. Oleh karena itu, hendaknya saat kita melihat saudara kita menampilkan amalan mereka dengan cara memposting di medsos, hendaknya kita berbaik sangka kepada mereka. Mungkin mereka melakukan hal itu untuk tujuan-tujuan yang baik sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyatakan : “Hati-hati kalian dari prasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa.” (Hadis Nabawi).
Oleh karena itu, mari kita lebih menyibukkan diri untuk mengintropeksi diri kita daripada mengintropeksi orang lain. Karena diri kita lebih layak untuk dikhawatirkan terjatuh pada hal-hal buruk. Kalau anda tidak ingin menampakkan amalan baik anda atau tidak mau memposting kegiatan baik anda di medsos karena anda takut riya’, itu baik dan itu hak anda. Tapi itu tidak bisa menjadi sebuah hukum untuk semua orang. Barakallahu fiikum. []
Facebook: Abdullah Al Jirani