WASHINGTON–Seusai hari raya Idul Fitri 1438 Hijriah yang diperingati umat Islam seluruh dunia, Mahkamah Agung (MA) Amerika pada Senin (26/6/2017), memberlakukan sementara kebijakan larangan perjalanan (Travel ban). Warga dari sejumlah negara mayoritas Muslim dilarang memasuki AS selama 90 hari di musim panas.
Kebijakan tersebut merupakan siasat dari Presiden AS Donald Trump untuk melarang masuk warga atau wisatawan dari enam negara mayoritas Muslim dan pengungsi yang dianggap negara-negara teroris. Keenam negara itu adalah Iran, Libya, Suriah, Somalia, Sudan dan Yaman.
Selain itu, dengan diputuskannya larangan Trump ini, selama 120 hari Pemerintah AS dapat menyetop masuknya pengungsi dari enam negara terkait, terutama yang sedang berkonflik. Meski demikian, Mahkamah Agung membuat pengecualian dalam putusannya.
“Larangan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap warga negara asing yang memiliki hubungan yang dapat dipercaya dengan seseorang atau entitas di Amerika Serikat, seperti keluarga dan sekolah,” kata Pengadilan, dilaporkan Washington Post, Senin (26/6/2017).
Kemudian dalam sebuah keterangan, Pengadilan menegaskan bahwa Travel ban tidak berlaku bila seorang warga negara yang termasuk pada kebijakan larangan perjalanan, ingin mengunjungi atau tinggal dengan anggota keluarganya yang berada di AS. “Larangan juga tidak berlaku bagi mahasiswa yang sudah diterima di universitas di Amerika,” jelasnya.
Mahkamah Agung akan mendengar keterangan pemerintah pada persidangan Oktober mendatang, karena putusan ini bersifat sementara dan bukan final. Bahkan, hakim juga meminta Donald Trump untuk melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan tersebut.
“Mahkamah Agung akan mempertimbangkan apakah kebijakan Trump harus ditegakkan atau dibatalkan pada Oktober mendatang.”
Pengadilan meminta pemerintah untuk benar-benar melakukan pengkajian atas kebijakan tersebut, sebelum musim gugur mendatang. Hakim Clarence Thomas, Samuel A Alito Jr, dan Neil M Gorsuch yang memutus perkara ini mengatakan pengecualian dalam putusan tersebut sebagai bentuk kompromi.
Para hakim menjelaskan izin dari pengadilan bakal membebani pemerintah dengan tugas menentukan apakah warga negara yang ingin memasuki Amerika Serikat memiliki hubungan yang dapat dipercaya dengan seseorang atau entitas di negara ini.
Hakim memprediksi kompromi semacam itu akan menyebabkan sebuah “banjir permohonan ke pengadilan” mengenai apa yang merupakan “hubungan yang kredibel” sebelum keseluruhan kasus diselesaikan pada musim gugur mendatang. []