Oleh : Zirlyfera Jamil
KAPAN seseorang dikatakan sudah mampu bertanggung jawab? Apakah saat usia sudah 17 tahun, dimana seseorang wajib punya KTP dan telah memiliki hak untuk nyoblos pada pemilu?
Jika menurut ahli hukum yang mengatur peristiwa hukum seperti jual beli dan urusan bisnis, tanggung jawab jatuh pada mereka yang berusia 21 tahun, dimana jual beli rumah bisa dilakukan atas nama dirinya. Sementara di beberapa di tempat lain, usia 18 tahun adalah jawabannya.
Batasan tanggung jawab tidak bisa dipatok berdasarkan angka-angka yang bersifat relatif. Sosok yang mampu bertanggung jawab dapat dikenali dari ukuran pribadi: siap menanggung beban, mampu menghadapi resiko dan konsekuensi sekaligus memiliki kemauan dan kemampuan menjawab berbagai pertanyaan, juga cerdas dan kreatif memunculkan solusi terhadap permasalahan hidup yang ditemui.
Terkait dengan tanggung jawab, kematangan sering menjadi ukuran pendorong. Sebab semakin matang seseorang secara fisik, emosi dan rohani bisa dipastikan akan muncul sebagai sosok yang mampu bertanggung jawab.
Namun secara sosial, budaya hukum dan ekonomi, bahwa usia, kematangan pribadi terutama dalam hal ruhani dan emosi serta kesiapan bertanggungjawab, punya beragam ukuran dan tarik ulur. Beda dengan kematangan fisik yang mempunyai konsekuensi sama di mana pun dan kapan pun.
Kematangan fisik adalah pemberian Allah SWT yang menghadirkan konsekuensi manusia dapat melanjutkan peran kemanusiaan lewat kematangan organ reproduksinya.
Di sinilah hikmah besar terkandung ketika Islam menuntut tanggung jawab pada mereka yang memasuki masa baligh, dengan starting point terjadinya menstruasi atau mimpi, karena konsekuensi dari kematangan organ reproduksi adalah ini terkait erat dengan naluri manusia yang paling mendasar, ketertarikan seksual pada lawan jenis dan kemampuan menjalani misi kehidupan yang juga mendasar memperoleh keturunan.
Ketika memasuki masa baligh, disebut juga mukalaf, orang yang mampu bertanggung jawab – paling tidak setiap diri diingatkan bahwa dia sudah dewasa, bisa membangun rumah tangga, menghasilkan keturunan, dan itu bukan perkara remeh, melainkan ada konsekuensi tanggung jawab yang teramat berat dan agung.
Memang itu baru awal. Baru patokan dasarnya. Untuk menjadi pribadi yang matang dan bertanggungjawab diperlukan kesiapan lain, kematangan emosi, kekukuhan ruhani, kekuatan pendidikan, keluasan wawasan, penguasaan keterampilan hidup (life skills) hingga kemandirian ekonomi yang diperoleh tidak dengan otomatis melainkan melalui kerja keras dari dalam diri maupun pembinaan dari lingkungan.
Sayangnya, langkah-langkah pendukung ini tak selalu teringat untuk digali dan diasah sejak dini, sehingga kematangan fisik seringkali mengangakan jurang teramat lebar dengan sendi kematangan lainnya.
Pertanyaan – pertanyaan mendasar tentang kehidupan: untuk apa hidup ini?, mau jadi apa dalam hidup, bagaimana cara menjalaninya, kemana sesudah hidup dan apa persiapannya, nyatanya tidak semua orang bisa menjawab pertanyaan tersebut, meski mereka sudah sepuluh atau dua puluh tahun melewati starting point masa balighnya.
Tak heran banyak kalimat retoris terlontar mau jadi apa generasi penerus kita sekarang? Sudah umur sekian kok belum juga bisa bertanggung jawab?
Pertanyaan ini tentu tak bisa ditudingkan pada mereka yang menjadi generasi penerus. Tetapi perlu dikembalikan kepada diri kita. Apa yang sudah kita siapkan pada diri mereka untuk mengiringi masa balighnya? Semoga jawabannya tidak menunjukkan bahwa kita sebagai orang tua nyatanya belum bertanggung jawab terhadap anak-anak kita. []