YANGOON—Terkait kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya di Rakhine, Gereja Katolik Myanmar akhirnya turut bersuara merespon krisis kemanusiaan itu.
Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Myanmar, Kardinal Charles Maung Bo, mengatakan bahwa pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi seharusnya berbicara dan membela warga etnis Rohingnya yang tertindas oleh serangan militer Myanmar.
“Orang-orang di negara bagian Rakhine menghadapi penderitaan yang ‘luar biasa’, diperburuk oleh pengabaian dan perlakuan buruk yang berlangsung selama puluhan tahun dan tidak mendapat penyelesaian cepat,” ujar Maung Bo seperti dikutip dari Time, Kamis (14/9/2017).
Dunia melihat Aung San Suu Kyi dengan lensa yang sama, lanjut Bo, sama seperti ketika memandangnya selama perjuangannya untuk menegakkan demokrasi.
“Sekarang dia (Aung San Suu Kyi—red) adalah bagian dari pemerintahan, dia adalah pemimpin politik. Seharusnya dia telah berbicara lantang soal Rohingya,” jelas Bo.
Seperti diketahui, Pemimpin de facto Myanmar, Penasihat Negara serta peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, hingga kini belum mengecam sedikitpun atas tindakan kekerasan militer Myanmar terhadap warga minoritas Muslim di negara yang mayoritas beragama Budha tersebut.
Pada Rabu pekan ini, Suu Kyi malah membatalkan rencana perjalanannya ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, yang dijadwalkan menggelar sidang pada pekan depan.
Maung Bo diangkat Paus Fransiskus sebagai pemimpin umat Katolik Myanmar pada 2015 lalu. Paus menjadikannya sebagai uskup agung pertama dari Myanmar, yang bergabung dengan Catholic College of Cardinals, badan global tertinggi gereja untuk memilih paus.
Paus Fransiskus sendiri sebelumnya telah berbicara mengenai kekerasan yang menimpa Muslim Rohingya. Pada akhir Agustus lalu, saat kekerasan meningkat, Paus Fransiskus mengumumkan bahwa dirinya akan mengunjungi Myanmar pada November mendatang.
Paus Fransiskus meminta pemerintah Myanmar mengakhiri penganiayaan terhadap kelompok minoritas agama, laki-laki dan perempuan Rohingya. Paus meminta mereka diberi hak penuh sebagai warga negara.
Paus Fransiskus juga menyoroti penderitaan umat Islam yang diusir dari Myanmar sebagai bagian dari upaya untuk membangun simpati bagi para imigran dari semua agama di seluruh dunia. []