Banyak ustadz yang ingin masuk TV untuk memberi ceramah. Ilmu agamanya mungkin masih pas-pasan, tapi retorikanya lumayan. Dan biasanya industri TV lebih mencari retorikanya yang lumayan walau ilmu agamanya pas-pasan. Umumnya mereka dari kalangan usia muda. Padahal usia mempengaruhi cara berpikir dan gaya bicara.
Hal ini berbeda dengan era awal media yang menampilkan Ustadz relatif sudah berumur tua. Tapi itulah media, faktor usia muda menjadi pertimbangan karena terkait dengan selera Ibu rumah tangga yang umumnya menjadi khalayak penikmat media, terutama layar kaca.
Pada situasi seperti ini, banyak juga Ustadz muda yang tidak paham bahwa ceramah mereka sebenarnya bukan “dakwah” tapi “show”. Mereka cuma “Talk” dan stasiun TV menjadikan Talk mereka sebagai Show. Anehnya, walau tidak paham tentang ini, banyak pula Ustadz muda itu yang menikmati “show” tersebut. Akibatnya, tidak jarang Ustadz terkena candu dakwah mereka sebagai show acara televisi. Mengapa sebuah show bisa menjadi candu?
Karena semakin banyak yang menonton sebuah show, semakin tinggi ratingnya. Semakin tinggi ratingnya, semakin mahal tarif iklannya. Semakin mahal tarif iklannya, semakin tinggi pula bayarannya. Ini sudah seperti ruang pengap, tidak jelas lagi antara dakwah dan dagang, atau antara riya’ dan ibadah. Sebab biasanya setelah itu disusul dengan tawaran iklan, sinetron, film atau manggung di tempat berkelas bagi Ustadz yang sudah masuk layar kaca dan dikenal luas oleh khalayak media.
Berapa biasanya tarif Ustadz yang manggung di tempat berkelas? Percaya atau tidak, umumnya berkisar 30 sd 75 juta sekali ceramah. Bahkan kadang cukup 15-30 menit ceramah. Harganya lebih mahal dari sebuah hasil riset yang digarap seorang dosen dengan sangat serius.
Semua bermula dan dimulai dari show di televisi. Sebagai sebuah show, seorang Ustadz kadang kerap pula dituntut mengikuti skenario. Mulai dari pakaian, materi bahkan gaya yang bisa menjadi personal branding baginya. Personal branding ini penting saat seorang Ustadz masuk dalam industri dakwah. Ini semacam merk yang memudahkan khalayak mengindentifikasi sebuah produk. Seperti kalimat “Jama’aaah, wooi jamaaaah…” yang sudah menjadi personal brand ustadz tertentu.
Atau bisa pula seorang Ustadz terbawa arus khalayak sedemikian rupa agar show-nya dinikmati penonton. Sehingga tidak jarang terkadang Ustadz lebih konsentrasi menyampaikan materi atau gaya yang lucu daripada materi ceramah yang menginspirasi dan mencerahkan jamaatnya. Semua demi memuaskan industri televisi dan khalayak penontonnya.
Tuntutan bawah sadar ini yang sering membuat Ustadz muda yang baru masuk TV dan belum kenal industri hiburan kepleset. Sehingga memang menjadi sulit membedakannya antara pelawak atau pendakwah. Pesan dakwah menjadi tidak penting karena yang dibutuhkan adalah hiburan. Inilah yang terjadi pada seorang Ustadz muda. Dia terbawa arus kehendaknya sendiri untuk memuaskan penonton agar ratingnya naik hingga kepleset lidah menyebut ada pesta seks di surga dalam sebuah ceramah (show?) di sebuah stasiun televisi swasta.
Saat saya menjadi komisioner KPI Pusat, beberapa kolega atau Ustadz muda sering meminta bantuan agar turut diorbitkan stasiun TV. Suatu permohonan yang tidak bisa saya penuhi sebab saya lebih suka mereka tetap sebagai Ustadz kampung yang keluar masuk mesjid atau lingkar kecil pengajian emak-emak memberi khutbah dan ceramah. Bagi saya itu lebih ikhlas, tulus tanpa rekayasa dan dekat langsung dengan jamaatnya. Tidak berharap imbalan, apalagi memasang tarif ceramah seperti yang pernah heboh beberapa tahun lalu. Jika ada amplop usai ceramah sekedar uang transport, diterima sebagai rezeki dari Allah SWT.
Dengan dasar pemikiran demikian dan untuk menjaga keikhlasan dakwah, saya sering menolak disebut Ustadz saat memberi ceramah pada sejumlah pengajian. Suatu saat bahkan saya sering menolak ketika diminta memimpin do’a usai ceramah. Sebab do’a itu kaplingnya ulama atau setidaknya Ustadz. Dan saya bukan Ustadz, apalagi Ulama. Jika ada amplop dari jamaah, ambil saja seperlunya untuk kebutuhan transport. Sebab jika menolak, nanti dibilang sombong dan bisa jatuh pada lembah kufur nikmat. Sisanya kembali disodaqahkan. Jangan sampai ceramah dijadikan sumber mencari nafkah. Sebab agama bukan untuk diperjual belikan dengan harga murah.
Lantas bagaimana menghindari agar para Ustadz yang tampil di televisi tidak lagi kepeleset? Ada beberapa cara untuk atasi hal tersebut, antara lain:
1) Sebaiknya industri TV memang punya tim khusus yang ahli agama untuk memilih narasumber mereka sesuai dengan tema dan target audiensnya. Ini membahas agama, suatu yang sakral di tempat yang profan. Harus lebih ekstra hati-hati.
2) Lembaga berwenang seperti MUI, Kementerian Agama atau PUSDAI dapat memberi semacam lisensi bagi Ustadz yang akan berceramah di TV. Ini menjadi penting karena saluran TV bersifat free to air, siapa saja dan dimana saja bisa mengakses siarannya.
3) Ustadz yang akan tampil di televisi perlu diberi semacam bekal tentang relasi agama dan media, terutama televisi. Ya mirip dengan media literasi untuk para Ustadz. Materi agama, itu keahlian mereka. Tapi soal media, tentu ahlinya berbeda.
Seorang Ustadz harus sadar bahwa mereka masuk TV sebagai subjek atau khalifah, bukan objek dari siaran TV. Kesadaran diri sebagai khalifah saat masuk TV ini yang membuat mereka tidak mudah mengikuti alam bawah sadar mereka sendiri untuk sekedar memenuhi hasrat kepuasan penonton atau mudah diatur oleh skenario industri televisi. []