UTANG dalam Islam memang diperbolehkah. Namun harus dipahami bahwa ada aturan ketat yang harus dipegang erat soal utang piutang ini. Jangan sampai ada orang yang dirugikan, baik orang yang berutang, maupun yang meminjamkan utang.
Dari beberapa syarat utang dalam Islam, kami akan bahas tiga poin penting dalam utang piutang yang harus dipahami khususnya oleh seorang muslim.
Berutang dengan Niat Baik dan Berusaha Melunasinya
Poin utang dalam Islam pertama adalah mempunyai niat baik ketika berutang. Niat ini penting karena akan menentukan bagaimana kedepannya. Ketika orang berniat baik, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk melunasi utang. Namun jika dia berniat buruk, maka ketika ada keluangan pun, akan selalu dicari-cari alasan agar dia tidak membayar utang.
Selain itu, jika seseorang berutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zalim dan dosa. Bukan hanya kepada orang yang dipinjami utang, tetapi juga kepada Allah SWT.
BACA JUGA: 2 Tips Hindari Utang dalam Islam
Di antara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berutang untuk menutupi utang yang tidak terbayar
b). Berutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah utang agar mau memberi.
d). Berutang dengan niat tidak akan melunasinya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berutang ) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas. Berapa banyak orang yang berutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya.
Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa utang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah membinasakan hidupnya dengan utang tersebut. Aturan utang dalam Islam tidak memudah-mudahkan juga tidak mempersulit. Namun mengingatkan pentingnya sebuah komitmen.
Utang Piutang Harus Ditulis dan Disaksikan
Poin kedua utang dalam Islam adalah pentingnya mencatat utang dan menghadirkan saksi ketika akad utang dilaksanakan. Hal ini bukan hanya menguntungkan satu pihak, tetapi semua pihak. Karena dengan menerapkan aturan utang dalam Islam ini, pihak orang yang berutang dan yang memberikan utang akan lebih tenang.
Sebagaimana telah Allah SWT jelaskan dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utang nya.
Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat utang dalam Islam ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi.
Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan,” (Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316).
Pemberi Utang Tidak Boleh Mengambil Keuntungan dari Orang yang Berutang
Poin ketiga utang dalam Islam yaitu orang yang memberikan utang, tidak boleh mengambil keuntungan dari orang yang berutang kepadanya.
Kaidah fikih berbunyi: “Setiap utang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama.
Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147)
BACA JUGA: Hidup Takkan Tenang karena Utang
Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata: “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam utang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan,
“Saya beri Anda utang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau Anda hadiahkan kepadaku sesuatu”.
Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51).
Itulah pembahasan singkat soal utang dalam Islam. Semoga memberikan kita pemahaman lebih mendalam terkait perkaran ini sehingga tidak meremehkan hal-hal di atas yang hanya akan mempersulit diri sendiri. []
Sumber: Majalah Pengusaha Muslim, Edisi, Tanggal 15 November 2010