YERUSALEM-Undang-undang (UU) Israel yang baru disetujui oleh Knesset memantik gelombang kecaman dan kemarahan antara kelompok-kelompok Yahudi di negara tersebut.
UU yang menyebut Israel sebagai “negara Yahudi” itu disahkan oleh Knesset (parlemen Israel) pada Kamis (19/7/2018). Peraturan ini juga menyatakan adanya “Yerusalem bersatu” sebagai Ibu Kota Israel dan Ibrani sebagai bahasa resminya, menyingkirkan Bahasa Arab sebagai pilihan bahasa resmi saat proses pengesahan “status spesial” ini.
BACA JUGA: Ini Kata Dubes RI tentang UU Negara Yahudi Israel
Tamar Zandberg, ketua Partai Meretz sayap kiri, menyebut UU ini “memalukan.”
“Zionisme bukan lagi gerakan nasional, namun nasionalisme yang dipaksakan yang mempermalukan minoritas dan membuat supremasi ras,” kata dia.
Pemimpin oposisi Isaac Herzog menyatakan kesedihannya “karena pidato terakhir yang dibacakannya sebagai kepala oposisi berada di depan latar ini.”
“Sejarah akan menentukan apakah undang-undang ini akan menguntungkan Israel atau tidak,” ujar dia.
Mantan Menteri Luar Negeri Tzipi Livni berkata peratutan ini hanya menguntungkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
“Netanyahu ingin undang-undang ini untuk pertarungannya,” ujar Livni, anggota partai Uni Zionis. Partainya, partai oposisi terbesar dengan 24 kursi di Knesset, memilih untuk menentang UU ini dalam tiga kali sidang dengar.
Sebelumnya, Netanyahu memuji undang-undang ini, menyebutnya sebagai “momen menentukan bagi Zionisme dan Israel.”
Pusat Hukum Adalah untuk Hak Azasi Minoritas Arab di Israel menyebut peraturan ini sebagai “kolonial” dan “mengandung elemen-elemen kunci apartheid”.
“Undang-undang itu menjamin karakter etnis-religius Israel sebagai eksklusif Yahudi dan menguasai hak istimewa yang dinikmati oleh warga Yahudi, sementara secara bersamaan melabuhkan diskriminasi terhadap warga Palestina dan melegitimasi pengecualian, rasisme, dan ketidaksetaraan sistemik,” kata LSM itu dalam sebuah pernyataan.
Pernyataan itu mengatakan UU tersebut secara mutlak melanggar hukum internasional yang berbunyi “memproklamirkan praktik apartheid, termasuk undang-undang, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan”.
“Undang-undang yang baru ini secara konstitusional mengabadikan identitas Israel sebagai negara dan bangsa dari orang-orang Yahudi, meskipun ada 1,5 juta warga Palestina di negara ini,” tambah pernyataan itu.
Dana Baru Israel, sebuah organisasi nirlaba dari AS, menyebut peraturan ini sebagai “bentuk tribalisme”.
“Ini adalah tamparan di wajah orang-orang Arab-Palestina yang menjadi warga negara Israel. Peraturan yang mengidentifikasi warga negara sebagai kelas satu dan kelas dua tak punya tempat dalam demokrasi dan membahayakan masa depan Israel,” sebut mereka melalui pernyataan.
Rabbi Rick Jacobs, kepala Persatuan Reformasi Yudaisme, denominasi Yahudi terbesar di dunia, berkata UU ini akan “membawa kerusakan besar” bagi Israel.
BACA JUGA: Parlemen Israel Sahkan UU Pemisahan etnis Arab dan Yahudi
Komite Yahudi Amerika, kelompok advokasi Yahudi ternama di Amerika Serikat, juga menyatakan kecewa dengan undang-undang ini.
“Ini membahayakan komintmen para pendiri Israel yang membangun negara ini yang Yahudi sekaligus demokratis,” ujar dia. []
SUMBER: ANADOULU