“SAUDARA-saudara, tugas kalian kami kirim ke negeri-negeri muslim bukanlah untuk memurtadkan kaum muslimin menjadi Kristen ataupun Yahudi. Tapi cukuplah dengan menjauhkan mereka dari Islam. Kita jadikan mereka sebagai generasi muda Islam yang jauh dari Islam, malas bekerja keras, suka berfoya-foya, senang dengan segala kemaksiatan, memburu kenikmatan hidup, dan orientasi hidupnya semata untuk memuaskan hawa nafsunya.”
ITULAH pidato Samuel Marinus Zweimmer di depan para pendeta Yahudi dan Kristen yang akan dikirim ke negeri-negeri muslim dalam Konferensi Missi pada tahun 1935 M di Jerusalem.
Sebagai arsitek yang berniat menghancurkan pemuda muslim, Zweimmer sadar bahwa memurtadkan kaum muslimin bukanlah perkadara mudah. Jangankan memurtadkan, meminta kaum muslimin untuk tidak meyakini Al Qur’an saja hanya bisa menjadi mimpi bagi Yahudi.
BACA JUGA: Ini Kata Ustaz Abdul Somad soal Hari Valentine
Namun, Zweimmer bukanlah pendeta biasa. Dia sudah dilatih bagaimana menghancurkan kaum muslimin secara sistematis. Dalam penantiannya, dia begitu telaten dan gigih menyiapkan jurus ampuh menaklukan bangsa terbesar di dunia ini.
Hingga kemudian Evangelis asal Amerika Serikat ini berpendapat: jika memurtadkan kaum muslimin adalah langkah sulit, maka menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya bukanlah hal yang mustahil bagi barat.
Boleh seorang muslim berKTP Islam, tapi otaknya mengikuti Yahudi. Boleh namanya Ahmad tapi pikirannya mengikuti nafsu sesaat.
Menariknya, alat ampuh yang diciptakan Zweimmer bukanlah roket dan rudal. Bukan pula senjata dan basoka, tapi nafsu jelata dan invasi budaya.
Target awal yang harus ditaklukan Yahudi adalah wanita. Mengapa? Karena Wanita adalah pewaris generasi, pelahir mujahid rabbani. Tak heran Muhammad Quthb pernah mengeluarkan kalimat monumentalnya.
Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik asal ia pernah mendapatkan pengasuhan seorang ibu yang baik. Sebaliknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya, hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya. Itulah mengapa yang dihancurkan pertama kali oleh Yahudi adalah wanita.
Kini, siapa sangka, 80 tahun setelah Zweimmer menancapkan proyeknya, kaum muslimin perlahan-lahan mulai melepaskan budayanya. Tak sedikit satu-dua remaja yang hancur kehidupannya di masa muda. Mereka lebih mengenal budaya luar, daripada agamanya.
Siapa sangka, demi menyambut Valentine para wanita rela menggadaikan kehormatannya. Bagi mereka, Valentine adalah hari raya yang wajib dirayakan. Jika tidak, maka menjadi kuno dan ketinggalan tren global. Padahal tren global yang dimau Barat adalah beralihnya seorang muslim mengikuti jejak Kristen maupun Yahudi.
Pada tahun 496 M, misalnya, Paus Gelasius I secara jelas memasukkan upacara ritual Romawi kuno ke dalam agama Nasrani yang sejak itu resmi bernama Valentine’s Day.
The Encyclopedia Britania, vol. 12, sub judul Chistianity, menulis:
“Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Encylopedia 1998). Nama Valentinus di duga merujuk pada tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda yaitu Pastur di Roma, Uskup Interamna (modern Terni), dan Martir di provinsi Romawi Afrika.”
Jadi jelas kemana arah Valentine. Dari sinilah kita teringat firman Allah dalam Surat Al Baqarah 120 bahwa, “Orang-orang Yahudi tidak akan pernah ridha dan tidak pula orang-orang Nashara selamanya sampai kiamat akan terus berusaha mempengaruhi kita hingga kita betul-betul masuk dalam milah (prinsip hidup) mereka”. Menariknya, Allah di sini memakai kata-kata “millah”, bukan “Dien”.
BACA JUGA: Valentine Day Ancaman Generasi
Apakah yang dimaksud millah? Tidak lain sebagai gaya hidup, tata cara, style, pola pergaulan, dan lain sebagainya.
Tepatlah sabda Rasulullah, “Kelak Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya.” Para sahabat lantas bertanya, “Apakah yang anda maksud orang-orang Yahudi dan Nasrani, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari).
Tentu kita tidak bisa berdiam diri. Bangkit dan bergerak adalah sebuah keharusan. Belum ada kata terlambat untuk membina para remaja muslim. Bahwa selain invasi dari luar, kita juga harus melakukan intropeksi sejauh mana dakwah kita menyentuh para pemuda. []