Oleh: Newisha Alifa
DALAM beberapa kesempatan, ketika ada ustadz yang membahas tema pernikahan, maka tak jarang akan muncul joke semisal, “Pernikahan itu harus beda, Bu, Pak. Ya kalo nggak beda, nggak bisa nikah. Harus Adam sama Hawwa. Nggak boleh Adam sama Asep.”
Ya maksudnya beda jenis kelamin.
Nggak usah dibawa serius, namanya juga bercandaan.
Namun, di antara begitu banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibolehkan atau malah diwajibkan Islam dalam sebuah pernikahan, sejatinya ada begitu banyak persamaan yang harus dimiliki. Salah satu di antaranya adalah kesamaan visi misi dalam berumah tangga.
Ketidakcocokan sering kali menjadi alasan klise yang terlontar dari pasutri yang memilih perceraian sebagai solusi pernikahan mereka.
Definisinya tentu luas.
Ketidakcocokan dalam hal apa?
Ajaibnya lagi udah punya beberapa anak kok baru sadar kalau nggak cocok? Berarti ada dua kemungkinan; butuh waktu lama untuk menyadari kalau nggak sejalan. Atau bisa jadi salah satu atau malah keduanya sudah ada yang berubah. Entah perubahan fisik, kondisi materi, atau perubahan lain yang ujung-ujungnya mempengaruhi perspektif masing-masing.
Masa pranikah sebenarnya adalah masa paling penting dalam menemukan kecocokan atau ketidakcocokan itu.
Ukuran ngerti agama versi si perempuan gimana? Si laki-laki gimana?
Kalau ngerti agama, kok dua-duanya mau sih terlibat dalam hubungan pacaran dalam kurun waktu lama dengan dalih ‘pacaran sehat’?
Bahkan dengan kamu ngaji bareng pacar sekalipun, itu nggak lantas bisa menghalalkan hubungan kalian tadi. Halalin hubungan tuh dengan ijab qobul, Bro, Sis. Bukan ngaji bareng atau saling ngingetin sholat!
Lagian ngingetin sholat itu udah jadi tugasnya mu’adzin kok.
Kategori mapan bagi calon istri itu gimana? Dan calon suami itu gimana?
Ada laki-laki yang baru mau nikah kalau udah punya rumah dan mobil dulu. Sebaliknya, ada juga perempuan yang baru mau dinikahin kalau si laki-laki udah punya berbagai properti dulu.
Kalau keduanya udah sepaham sevisi-misi pasti ngerti. Kalaupun ada rezeki lebih, mending uangnya dipake buat menghalalkan hubungan saja dulu, ketimbang buat beli ini itu yang In Syaa Allah bisa ‘dicicil’ nanti kalau udah jadi pasutri.
Itu pula yang terjadi pada pernikahan para selebritis. Saya sebut saja ya namanya, karena toh orangnya cerita sendiri di depan khalayak seminar empat tahun lalu.
Misalnya Teuku Wisnu dan Shireen Sungkar. Kalau dari penuturannya, Wisnu udah lebih dulu ‘hijrah’ ketimbang Shireen. Itu mengapa masa-masa menjelang pernikahan, Wisnu sudah meminta Shireen untuk membatasi frekuensi pertemuan keduanya.
Wisnu terus meniti jalan hijrahnya. Dia ingin istrinya juga begitu. Tapi di sisi lain, Wisnu tidak ingin mendesak apalagi memaksa Shireen untuk berubah juga sepertinya. Kalian tahu apa? Belakangan ini pun ramai disebar di mana-mana entah meme atau video statement Shireen, “Wisnu ingin ajak aku ke surga. Tapi surga nggak terima perempuan yang nggak nutup aurat.”
Dan Ma Syaa Allah, dengan kesabaran, ketulusan dan doa dari sang suami, Shireen pun ikut berhijrah mengikuti jejak suaminya. Kini, nampak keduanya sudah sevisi dan misi dalam rumah tangga. Ridho Allah lah tujuan pernikahan mereka.
Hal serupa walau dengan cerita yang berbeda, juga terjadi pada rumah tangga Arie Untung dan Venita. Suaminya mulai berhijrah, berubah sudut pandang. Dan istrinya pun tergerak untuk melakukan hal yang sama. Berubah ke arah yang lebih baik.
Alhamdulillah …
Belum sampai dua puluh empat jam seorang teman bercerita dan meminta pendapat bahwa dia sedang dicomblangin sama seorang laki-laki yang masih bolong-bolong sholatnya. Eh karena sering diingetin sama dia, lelaki ini malah ngadu ke ibunya. Ibunya ngadu lagi ke yang comblangin supaya nggak terlalu ngeribetin masalah sholat anaknya. Nanti juga kalau udah nikah mah berubah.
Lah kalau iya habis nikah bisa berubah? Kalau nggak?
Mana nggak main-main lagi urusannya SHOLAT. Kalau Allah saja, Penciptanya, bisa dia abaikan, apalagi cuma istri?
Itulah mengapa, amat sangat penting untuk kita menyadari kesamaan visi misi dalam pernikahan. Supaya nggak jadi masalah di kemudian hari.
Beda jenis kelamin ya wajib.
Beda agama haram.
Beda usia, beda suku, beda bangsa, beda bahasa, mubah. Nggak masalah.
Tapi beda pemahaman, beda visi agama dalam pernikahan, kalau salah satunya nggak ada yang mau ‘mengalah’ untuk mengikuti yang lainnya. Maka cepat atau lambat pasti jadi masalah. Wallahu A’lam Bisshowab. []