PADA suatu hari, ketika Rasulullah SAW hendak memasuki masjid, alangkah terkejutnya Ia. Tepat di samping pintu masjid, Beliau melihat sesosok tubuh, membayang, dan akhirnya semakin jelas. Ternyata ia adalah iblis laknatullah.
Ketika Rasulullah melongokkan kepalanya ke dalam masjid, terdapat dua orang di sana. Namun, satu orang tengah melaksanakan sholat, sedangkan seorang lainnya tampak tengah tertidur pulas dekat pintu. Iblis itu tampak gusar dan ragu antara masuk masjid atau tidak.
Rasulullah SAW pun bertanya, “Wahai Iblis, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya Rasulullah SAW. Iblis pun menjawab, “Aku hendak masuk masjid dan merusak shalatnya orang itu. Tetapi aku merasa takut terhadap orang yang sedang tidur itu,” kata iblis sambil menunjuk orang yang sedang tidur.
Rasulullah mengerinyitkan keningnya tanda semakin keheranan. Lantas, Beliau bertanya lagi, “Wahai iblis, mengapa engkau takut terhadap orang yang sedang tidur dan tidak takut kepada orang yang tengah shalat dan bermunajat kepada Allah?”
Iblis tidak dapat menyembunyikan rahasia di hadapan Rasulullah SAW. Ia pun dengan gamblang menguraikan alasannya, “Ya Rasulullah, orang yang sedang shalat tersebut adalah orang yang bodoh, ia tidak tahu syarat hukumnya shalat, tuma’ninah, dan tidak bisa shalat dengan khusyuk”.
Iblis melanjutkan perkataannya, “Sedangkan orang yang sedang tidur itu adalah orang yang alim, maka jika aku merusak shalatnya orang bodoh itu, aku khawatir, dia akan membangunkan orang yang sedang tidur itu kemudian mengajari dan membetulkan shalatnya orang yang bodoh tadi,” jelas Iblis ketakutan.
Rasulullah mengangguk-anggukan kepalanya mendengar keterangan iblis. Beliau semakin sadar bahwa ilmu adalah senjata dan modal bagi umatnya untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan dunia dan akhirat.
Rasulullah pun teringat ia pernah mendapatkan firman dari Allah SWT, bahwa ketika Nabi Sulaiman diperintahkan memilih karunia yang disukainya, apakah harta, tahta, atau ilmu, Nabi Sulaiman justru lebih memilih ilmu.
Jika Nabi Sulaiman memilih harta, belum tentu tahta dan ilmu didapatnya. Jika ia mengambil tahta, maka harta dan ilmu juga belum tentu dapat diraihnya. Namun, dengan memilih ilmu, akhirnya harta dan tahta dimilikinya. []