PADA masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, hiduplah seorang pemuda yang sangat berbakti kepada orang tuanya di daerah Tha’if. Pemuda itu bernama Kilab bin Umayyah bin ‘Askar. Setiap pagi dan sore hari, ia memerah susu dan menghidangkannya untuk kedua orang tuanya.
Suatu hari, datanglah dua orang ke rumah Kilab. Mereka mengajak Kilab untuk turut berperang. Kilab yang beriman pun menerima ajakan jihad itu. Ia pun berpamitan kepada orang tuanya.
“Ayah, Ibu, izinkan aku pergi membela agama Allah. Hatiku terpanggil untuk menerima panggilan jihad,” katanya.
Mendengar ucapan anaknya, Wajah kedua orang tua Kilab itu murung. Berat bagi mereka melepas Kilab pergi. Tak terbayang siapa yang akan mengurus dan menyediakan susu nantinya.
BACA JUGA: Dengan Tegas, Khalifah Umar Tolak Usulan Kenaikan Gaji untuk Dirinya
“Jika engkau pergi, siapa yang akan menemani dan merawat kami, Nak?” tanya ibu Kilab.
“Ayah dan Ibu jangan cemas. Saya siapkan seorang budak yang akan menggantikan tugas-tugas saya selama saya pergi,” kata Kilab mencoba menghibur mereka.
Orang tua Kilab tak punya pilihan lain. Meski hati merasa berat, mereka lepas kepergian anaknya.
Malam hari setelah keberangkatan Kilab, budak yang dibeli Kilab menyediakan susu untuk orang tua Kilab. Namun, saat susu itu siap diminum, keduanya tengah tidur. Budak itu pun keluar dari kamar karena tidak berani membangunkan mereka. Tengah malam, Abu Kilab terbangun dan merasa lapar. Ia langsung teringat kepada Kilab yang biasanya menungguinya terbangun untuk menyodorkan susu hangat, Hati orang tua itu menjadi sedih.
“Kilab, anakku, mengapa dua orang itu datang kepadamu dan membawamu pergi? Lihatlah ayahmu yang kini rindu padamu dan merasa lapar. Lihatlah ibumu yang tidak merasa nikmat lagi meminum susu karena merindukanmu,” keluhnya.
Semakin hari, hati dua orang tua itu semakin gundah. Kerinduan kepada Kilab semakin dalam. Akhirnya, Abu Kilab nekad mendatangi Khalifah Umar. Ia berkata, “Wahai Khalifah Umar, tidakkah engkau sudi memanggil Kilab untuk kembali kepada dua orang tua yang merindukannya ini? Kami bersedih hati tanpa dirinya,” katanya kepada Khalifah Umar.
Mendengar kesedihan ayah Kilab, Khalifah Umar menangis. Hatinya tersentuh oleh kesedihan ayah Kilab. Ia segera mengutus seseorang untuk menemui Kilab dan memintanya pulang. Sesampai di hadapan Khalifah Umar, Kilab terlihat bingung. Sepanjang perjalanan pulang ia tak henti memikirkan apakah gerangan khilafnya hingga Khalifah memintanya meninggalkan medan perang.
“Wahai, al-Faruq, apakah gerangan kesalahanku hingga engkau memintaku kembali?” tanya Kilab.
“Kilab, apakah yang biasanya engkau kerjakan untuk orang tuamu?” tanya Khalifah Umar.
“Aku memenuhi kebutuhan mereka. Setiap hari aku memerah susu untuk mereka. Aku pilih unta betina yang gemuk dan sehat agarsaya dapatkan susu lebih banyak. Aku bersihkan puting susu unta itu sebelum memerahnya agar susu yang kuberikan untuk mereka itu bersih.”
Khalifah Umar terharu mendengar cerita Kilab. Mengertilah ia kini mengapa orang tuanya merasa begitu kehilangan. Segera ia mengirim utusan untuk memanggil orang tua Kilab. Laki-laki tua yang sudah tidak bisa melihat dengan jelas itu, tertatih-tatih menghadap Khalifah.
“Abu Kilab, apakah yang engkau inginkan sekarang?” tanya Khalifah Umar.
“Saya ingin melihat Kilab, wahai Khalifah. Saya ingin memeluknya sebelum saya mati,” jawab ayah Kilab.
BACA JUGA: Umar Berencana Gusur Rumah Paman Nabi untuk Perluas Masjid Nabawi
Khalifah Umar lantas meminta Kilab untuk memerah susu unta sebagaimana yang ia lakukan dulu, lalu menyuguhkannya untuk sang ayah. Masya Allah. Meski tak bisa melihat, namun laki-laki itu mengetahui susu itu Kilab yang menyodorkan.
Saya mencium bau tangan Kilab di gelas ini, wahai Khalifah Umar. Apakah Kilab ada di sini?” tanyanya gemetar.
“Iya, Abu Kilab. Anakmu berada di sini. Aku menyuruhnya pulang,” jawab Khalifah Umar.
Seketika ayah dan anak itu berpelukan sembari menangis. Khalifah Umar dan para sahabat yang berada di ruang itu pun turut meneteskan air mata. Bukan kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan karena ayah yang merindukan anaknya itu telah menemukan permata hatinya. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit: al-Qudwah Publishing/ Februari 2015