SUATU kali, Salman Al-Farisi berkunjung ke rumah Abu Darda. Begitu datang ke rumahnya Salman disambut oleh isterinya yang berpakaian lusuh. Salman mencurigai ada sesuatu yang tidak beres pada diri sahabatnya itu. Atas dasar itu ia bertanya, “Mengapa engkau tampak lusuh?”
Ummu Darda, isteri Abu Darda itu menjawab, “Kawanmu itu tidak suka dengan dunia.”
Salman sudah mempunyai kecurigaan dan menyimpan sedikit informasi tentang Abu Darda; mengabaikan hak-hak isterinya. Begitu Abu Darda datang menyambut, Salman pun dipersilakan masuk lalu dihidangkan makanan kepadanya. “Makanlah, saya sedang berpuasa,” pinta Abu Darda.
BACA JUGA: Kisah Abu Dzar Masuk Islam
“Saya tidak akan makan jika kamu tidak makan,” sahut Salman.
Akhirnya Abu Darda membatalkan puasanya dan makan bersama tamunya yang berencana menginap di rumahnya.
Memasuki malam hari mereka tidur. Pada sepertiga malam pertama Abu Darda bangun untuk salat malam. Namun oleh Salman dicegah dan disuruh tidur. Dan pada tengah malam Abu Darda bangun lagi untuk salat. Namun Salman menahannya pula.
Pada sepertiga malam terakhir Salman yang bangun dan membangunkan Abu Darda untuk salat malam. Usai salat subuh Salman mentaujih saudaranya itu, “Wahai saudaraku, sesungguhnya dirimu punya hak yang harus kamu tunaikan; sesungguhnya tubuhmu punya hak yang harus kamu tunaikan; dan sesungguhnya isterimu pun punya hak di atas pundakmu yang harus kamu tunaikan. Maka tunaikanlah setiap hak itu untuk pemiliknya.”
Begitulah, mengikuti rasa curiga ada yang terlarang ada yang dibenarkan. Bahan baku kecurigaan sebenarnya prasangka buruk. Dan prasangka itu sama sekali tidak dapat menggantikan kebenaran. Karenanya Rasulullah saw bersabda, “Jika kamu memiliki prasangka maka janganlah sok yakin.” Dan Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka karena sebagian prasangka itu dosa.” (Al-Hujurat 12).
BACA JUGA: Salim, Anak Angkat Abu Hudzaifah
Jadi, curiga jangan berlebihan. Para ulama menegaskan bahwa sikap dasar kita kepada sesama muslim adalah husnuzh-zhan (baik sangka) sampai ada bukti bahwa dia tidak layak mendapat prasangka baik kita. Dan sebaliknya sikap dasar kita kepada orang yang tidak beriman adalah suuzh-zhan (buruk sangka) sampai terbukti bahwa dia berhak memperoleh prasangka baik kita. []