Oleh: Indri Novia Miranti, indrinoviamiranti37@gmail.com
SEJATINYA, suami adalah imam di keluarganya. Nahkoda bagi pelayaran abadi dalam bahtera rumah tangga. Namun, realitanya ada diantara suami yang menggadaikan perannya sebagai kepala keluarga. Yang terkadang membuat sang istri pun terpaksa harus turun tangan, menjalankan peran ganda. Ya sebagai istri, ibu, suami dan ayah sekaligus.
Pasalnya, Islam telah mengatur sedemikian rupa, bahwa” Ar-Rijaalu Qawwaamuuna ‘alan- Nisaa: laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.” Tetapi pada kenyataanya, ada saja rumah tangga yang di bangun belum berdasarkan landasan di atas.
Hal-hal yang bisa membuat peran suami tergadai, diantaranya adalah:
1). Suami belum memahami betul fungsinya sebagai Qawwam/pemimpin di keluarganya. Bisa jadi, karena keterbatasan ilmu. Tetapi tidak di barengi dengan kemauan untuk terus belajar memperbaiki diri. Yakni, dengan terus menambah pengetahuan, serta tidak berhenti belajar. “Uthlubul ‘ilma minal mahdi ila llahdi : Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat”. Karena menjadi seorang suami dan ayah itu merupakan Long life education: proses pembelajaran sepanjang hidup.
Sang istri akhirnya mengambil alih (sementara) peran suaminya. Ia yang membimbing dan memberikan qudwah(contoh) bagi suaminya. Ia pun yang mendidik sendiri anak-anaknya.
2). Suami malas bekerja (mencari nafkah sebagai ma’isyah). Bisa jadi, karena kurang bisa mengasah keterampilan kerjanya. Ataupun karena bawaannya yang memang enggan melamar pekerjaan, serta gengsi jika harus berwiraswasta. Tidak mau melamar kerja dengan dalih ditolak terus. Dan tidak mau buka usaha sendiri dengan alasan tidak punya modal, juga bisa jadi karena malu dengan gelar kesarjanaan yang disandangnya, jika harus berwirausaha.
Padahal telah secara jelas Allah berfirman: “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf…(QS. Al-Baqarah: 233)
Sang istri pula yang pada akhirnya harus turun tangan, ikut membantu suaminya mencari nafkah. Ada yang mengajar, berdagang, dan lainnya. Itu semua di lakukan semata untuk menghidupi keluarganya. Sedangkan sang suami menganggur dan hanya bisa berpangku tangan. Ia tidak mau berusaha untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
3). Suami kecanduan game online (gadget). Waktu yang seharusnya dihabiskan bersama keluarga, malah dialihkan untuk bermain game online yang bisa memakan waktu lama. Sampai berjam-jam bahkan begadang semalaman. Sehingga intensitas pertemuan dengan istri dan anaknya pun berkurang. Padahal, secara psikologis peran ayah sangatlah penting untuk tumbuh kembang anak.
Apalagi bagi anak perempuan sosok ayah merupakan cinta pertama baginya.
Sebagai ibu, ia juga yang akhirnya mengajak anaknya untuk bermain, seorang diri tanpa di temani suami sebagai bapak dari anak-anaknya.
Berkaca dari Sirah Nabawiyyah, bagaimana seorang Nabi Muhammad yang sangat mencintai dan menyayangi anak-anak. Beliau senang sekali bercanda dan bercengkrama dengan mereka. Bahkan pada suatu kesempatan Rasulullah mengajak cucunya Hasan dan Husain untuk bermain kuda-kudaan, mereka naik ke punggung kakeknya itu. Beliau merupakan Teladan yang Baik (Uswatun Hasanah). Sedangkan kita umatnya di anjurkan untuk senantiasa menghidupkan sunnahnya.
4). Suami lebih suka berkumpul dengan teman-temannya di luar rumah. Selepas bekerja seharian, bukannya pulang ke rumah malah main dengan konco-konconya. Padahal anak dan istrinya sedang menunggu di rumah. Berangkat saat anak masih tidur dan pulang saat anak telah terlelap. Harta mungkin bisa dicari, tetapi masa emas(golden age) anak hanya sekali, takkan bisa terulang lagi.
Sangat di sayangkan, jika sampai terlewatkan. Apa artinya materi berlimpah jika anak dan istri lapar perhatian serta haus kasih sayang. Dari pada mengobrol dengan orang lain, lebih baik ngobrol dengan istri dan anak di rumah.
Bahkan menurut Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari (Direktur Auladi parenting School), ia menyebutkan bahwa :”Ngobrol, artinya bukan hanya ngomongin anak, tapi juga ngajak ngomong anak. Beda lho ngomongin anak dan ngajak ngomong. Ngobrol itu menyehatkan jiwa. Ingat, orang-orang berbahaya di dunia bukanlah orang yang banyak bicara tapi justru orang yang tidak bisa bicara.
Bukan,bukan artinya orang bisu bahaya. Ini orang bisa bicara, tapi tidak bisa mengungkapkan apa yang di pikirkan dan dirasakannya.”
Tentunya, kita sebagai orang tua tidak mau anaknya mengalami hal tersebut,bukan? Oleh karena itu, mari para suami sekalian kita galakkan lagi Gerakan Back to Home : Kembali ke Rumah, mulai dari saat ini.
Wahai para suami apa yang kaucari? []