KINI kerusakan pada moral sudah banyak terjadi. Banyak orang yang berbuat di luar nalar manusia. Sesuatu yang harus tidak terjadi, kini terjadi. Seperti adanya orang yang menyukai sesama jenis. Jika suka karena rasa kagum akibat prestasi yang diraih itu masih dikatakan normal. Tapi, bagaimana jika sampai menyukai karena ingin memiliki, layaknya seorang lelaki terhadap perempuan?
Hal seperti ini sudah terjadi di zaman dulu, khususnya pada kaum Nabi Luth. Ya, kaum ini lebih menyukai berhubungan dengan sesama jenis daripada dengan lawan jenisnya. Padahal, itu bukan tempatnya, artinya tidak sesuai dengan kodrat yang telah ditentukan oleh Allah. Tetapi, tetap saja naluri seperti itu ada pada dirinya, hingga hanya tertarik pada sesama jenisnya saja.
Dan kini, hal ini pun banyak menimpa para pemuda. Mereka terlihat normal, tetapi ternyata ketertarikannya pada sesama jenis lebih besar. Maka, berhati-hatilah, jangan sampai terjerumus ke dalam kelakuan kaum Nabi Luth. Jangan sampai menyesal di kemudian hari, di mana hal itu juga terjadi pada kaum Nabi Luth, yakni adzab yang pedih.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa umatku adalah perbuatan kaum Nabi Luth (homoseks),” (HR. At-Tirmidzi).
Kata Fudail bin Iyadh, “Kalau para pelaku kaum Nabi Luth mandi dengan tetesan air dari langit, ia bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan tidak bersih.”
Ali bin Abi Thalib berkata, “Siapa yang mau merelakan dirinya untuk melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, Allah akan berikan syahwat perempuan.”
Ali bin Abi Thalib berkata, “Jika seorang laki-laki sudah cukup dengan laki-laki, dan perempuan sudah menyukai perempuan maka akan turun dari langit bala bencana berupa khasf (gunung meletus yang banyak menelan korban), serta qazf (hujan batu) dari langit.”
Rasulullah ﷺ belum pernah memberikan hukuman kepada pelaku homoseks karena waktu itu belum dikenal oleh orang Arab. Namun, ia bersabda, “Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya (pelakunya dan objeknya),” (HR. At-Tirmidzi).
Abu Bakar Ash-Shiddiq menetapkan hukuman ini. Dulu, Ali bin Abi Thalib orang yang sangat keras memberikan hukuman bagi para pelaku homoseks. Khalid bin Walid pernah mendapati di sebagian daerah Arab, laki-laki menikahi kaum laki-laki. Ia menulis surat kepada Abu Bakar.
Khalifah Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat. Di antara yang sangat keras memberikan hukuman bagi pelaku homoseks ini adalah Ali bin Abi Thalib. Ia berkata, “Tidaklah yang melakukan ini, kecuali dari satu kaum dan kalian sudah mengetahui bagaimana Allah memberi hukuman pada mereka. Aku berpendapat mereka itu dibakar dengan api.” Lalu, Abu Bakar menulis kepada Khalid bahwa hukuman bagi pelaku homoseks adalah dibakar hidup-hidup. Maka, Khalid pun menjatuhkan hukuman kepada mereka.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah suatu kaum berbuat maksiat, kemudian mampu untuk mengubahnya tetapi ia tidak mengubahnya. Maka, Allah akan memberikan hukuman kepada mereka,” (HR. Abu Dawud).
Rasulullah ﷺ sangat keras mengingatkan masalah ini dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari.
“Perumpamaan orang yang menegakkan hudud (hukum) Allah dan orang yang melanggarnya adalah seperti suatu kaum yang melakukan undian di atas kapal. Sebagian mendapatkan bagian di atas kapal dan sebagian lain mendapatkan bagian bawah. Apabila yang berada di lantai bawah hendak mengambil air, mereka melewati orang yang berada di lantai atas. Mereka pun berkata-kata, ‘Seandainya kami melubangi yang menjadi bagian kami, bagian bawah tentu kami tidak akan mengganggu orang yang berada di atas kami (karena tidak akan melewati mereka ketika mengambil air).’ Apabila mereka dibiarkan melakukan apa yang diinginkan, maka binasalah semuanya. Apabila dicegah (dari niatnya), selamatlah mereka dan selamat juga seluruh penghuni kapal,” (HR. Bukhari).
Dalam shahih Muslim disebutkan bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Tiada seorang nabi pun, diutus sebelumku, kecuali mempunyai hawariy (pengikut setia) dan sahabat dari umatnya yang selalu memegang sunnahnya serta melaksanakan perintahnya. Kemudian, setelah mereka muncul beberapa generasi pengganti, mereka mengatakan sesuatu yang tidak diamalkan dan mengamalkan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa berjihad kepada mereka dengan tangannya, ia mukmin. Barangsiapa berjihad dengan lisannya, ia mukmin. Barangsiapa berjihad dengan hatinya maka ia mukmin, dan tiada keimanan setelah itu meskipun seberat biji sawi,” (HR. Muslim). []
Referensi: Bermalam di Surga/Karya: Dr. Hasan Syam Basya/Penerbit: Gema Insani Jakarta 2015