MALAM itu, khalifah Umar bin Khathab keluar dari rumahnya. Dia berjalan menyusuri ping¬giran kota Madinah. Begitulah kebiasaan pemim¬pin kaum muslimin itu. Setiap malam, dia selalu menyempatkan diri berkeliling dari satu kampung ke kampung yang lain untuk memastikan bahwa seluruh rakyatnya dalam keadaan tercukupi segala kebutuhannya.
Umar bin Khathab berjalan dan terus berjalan. Langit yang cerah sebagai atapnya. Di sana, kelap- kelip bintang seolah menjadi saksi atas apa-apa yang dilakukan khalifah kedua itu. Ternyata, langkah sang khalifah semakin jauh meninggalkan rumahnya, hingga tiba di sebuah gurun yang sangat sepi sekali. Di sana, dia melihat sebuah tenda yang masih ada tanda-tanda kehidupan. Ke sanalah khalifah Umar melangkah.
Setelah kian dekat, Umar bin Khathab dapat melihat seorang lelaki sedang duduk di luar sebuah tenda. Raut muka lelaki tersebut tampak gelisah. Sementara itu, dari dalam tenda terdengar sebuah erangan. Rupanya istri si lelaki itu akan melahirkan. Umar berpikir, pastilah lelaki Badui itu sangat khawatir terhadap keselamatan istrinya. Apalagi tidak ada orang lain selain hanya mereka berdua.
Maka, Umar pun segera berbalik arah. Dia ber¬jalan cepat supaya lekas sampai di rumah. Sesampai di rumah, dia segera menemui istrinya, ummi Kultsum bin Abi Thalib.
“Ada apa wahai Amirul Mukminin? Kenapa engkau tampak begitu gelisah?”
“Wahai istriku, ada kesempatan mulia dari Allah untukmu, maukah engkau ikut denganku?”
“Ya!” jawab Ummu Kultsum dengan muka berbinar.
“Ada seorang Badui pendatang yang hidup di ping¬giran kota. Saat ini, istrinya akan melahirkan, tetapi tidak ada orang lain yang menolongnya,” kata Umar.
“Kalau begitu, marilah kita segera ke sana!” potong Ummu Kultsum. Ummul mukminin itu segera mempersiapkan segala sesuatu untuk mem¬bantu persalinan pendatang itu. Sementara itu, Umar
mengambil tepung dan segala perlengkapan untuk memasak. Setelah semua siap, lantas mereka beranjak ke tempat orang Badui itu. Dengan sedikit tergesa, mereka pergi menuju tenda pendatang tadi. Tak lama berselang, mereka pun telah sampai.
Sesampainya di tenda milik Badui tadi, Ummul mukminin segera minta izin masuk untuk mem¬bantu persalinan. Sementara itu, Umar langsung mempersiapkan tempat memasak. Dia membuat adonan kemudian mengukusnya. Semua itu dila¬kukannya seorang diri dengan cekatan.
Laki-laki Badui yang semula kebingungan itu menjadi tenang. Diam-diam, dia memperhatikan kedua tamunya yang misterius itu. Dalam hati, dia sangat bersyukur. Di tengah padang pasir yang gersang itu masih ada yang peduli dengannya. Dia pun berpikir kalau orang itu lebih pantas menjadi khalifah daripada Umar. Dia tidak tahu kalau dia adalah Umar bin Khathab, khalifah yang sangat perhatian kepada seluruh rakyatnya.
Tak berapa lama dari dalam tenda terdengar suara lengkingan tangis bayi. Rupanya istri si Badui itu telah melahirkan. Laki-laki Badui yang sejak tadi berdiri gelisah di depan tenda, pun menjadi lega. Raut mukanya terlihat bahagia.
“Wahai Amirul mukminin, katakan kepada sahabatmu itu kalau istrinya telah melahirkan seorang bayi laki-laki dengan selamat.” Tiba-tiba dari dalam tenda, terdengar Ummul mukminin berteriak. Spontan saja dia menyebut Umar dengan panggilan ‘Amirul mukminin’. Dia tidak sadar kalau tadi telah bersepakat akan menyembunyikan identitas mereka supaya si Badui merasa nyaman.
Mendengar sebutan itu, si Badui tampak terkejut. Dia mundur beberapa langkah. Dia sungguh tidak menyangka kalau laki-laki tamunya itu ternyata Amirul Mukminin, sang khalifah. Rasa bangga, malu, sekaligus takut, bercampur menjadi satu. Se¬mentara itu, Umar yang melihat perubahan pada si laki-laki Badui itu segera menenangkannya.
“Tenanglah wahai saudaraku. Aku itu tak lebih hanya sebagai saudaramu!” kata Umar lembut. Dia terus memasak roti itu sampai matang. Setelah dira¬sanya matang, dia memberikannya kepada Ummu Kultsum supaya istri si Badui itu makan.
“Sekarang lekaslah engkau makan, wahai saudaraku! Aku yakin, pastilah engkau juga lapar” tawar Umar.
Sejenak, laki-laki Badui itu terlihat ragu. Tapi perutnya tidak mau diajak kompromi. Akhirnya, dia pun memberanikan diri untuk makan roti yang telah dimasakkan oleh khalifahnya. []