ASMA’ radhiyallahu ‘anha menceritakan,
كُنْتُ أَخْدُمُ الزُّبَيْرَ خِدْمَةَ الْبَيْتِ، وَكَانَ لَهُ فَرَسٌ، وَكُنْتُ أَسُوسُهُ، فَلَمْ يَكُنْ مِنَ الْخِدْمَةِ شَيْءٌ أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ سِيَاسَةِ الْفَرَسِ، كُنْتُ أَحْتَشُّ لَهُ وَأَقُومُ عَلَيْهِ وَأَسُوسُهُ، قَالَ: ثُمَّ إِنَّهَا أَصَابَتْ خَادِمًا، «جَاءَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ فَأَعْطَاهَا خَادِمًا» ، قَالَتْ: كَفَتْنِي سِيَاسَةَ الْفَرَسِ، فَأَلْقَتْ عَنِّي مَئُونَتَهُ، فَجَاءَنِي رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أُمَّ عَبْدِ اللهِ إِنِّي رَجُلٌ فَقِيرٌ، أَرَدْتُ أَنْ أَبِيعَ فِي ظِلِّ دَارِكِ، قَالَتْ: إِنِّي إِنْ رَخَّصْتُ لَكَ أَبَى ذَاكَ الزُّبَيْرُ، فَتَعَالَ فَاطْلُبْ إِلَيَّ، وَالزُّبَيْرُ شَاهِدٌ، فَجَاءَ فَقَالَ: يَا أُمَّ عَبْدِ اللهِ إِنِّي رَجُلٌ فَقِيرٌ أَرَدْتُ أَنْ أَبِيعَ فِي ظِلِّ دَارِكِ، فَقَالَتْ: مَا لَكَ بِالْمَدِينَةِ إِلَّا دَارِي؟ فَقَالَ لَهَا الزُّبَيْرُ: مَا لَكِ أَنْ تَمْنَعِي رَجُلًا فَقِيرًا يَبِيعُ؟ فَكَانَ يَبِيعُ إِلَى أَنْ كَسَبَ، فَبِعْتُهُ الْجَارِيَةَ، فَدَخَلَ عَلَيَّ الزُّبَيْرُ وَثَمَنُهَا فِي حَجْرِي، فَقَالَ: هَبِيهَا لِي، قَالَتْ: إِنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهَا
BACA JUGA: Rubayyi binti Muawwidz dan Asma Tak Setuju soal Abu Jahal
“Aku membantu suamiku Zubair dalam urusan pekerjaan di rumah. Dia memiliki seekor kuda, dan akulah yang merawatnya. Tidak ada yang lebih berat bagiku untuk membantunya selain merawat seekor kuda. Akulah yang mencarikan rumputnya dan membersihkannya.
(Perawi) berkata, kemudian pada suatu ketika dia mendapatkan seorang pembantu. Dia adalah tawanan yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi memberikannya kepada Asma’ sebagai pembantu. Asma’ berkata, “Dia telah membantuku merawat seekor kuda hingga akhirnya telah meringankanku.”
Pada suatu ketika, seorang laki-laki datang kepadaku seraya berkata, “Wahai Ummu ‘Abdullah! Aku ini seorang yang fakir, bolehkah aku berjualan di bawah naungan atap rumahmu?”
Asma’ menjawab, “Jika suamiku, Zubair, mengizinkanmu, maka datanglah kembali.”
Ketika itu Zubair sudah ada di rumah. Pada saat yang lain, orang itu datang kembali seraya berkata, “Wahai Ummu ‘Abdullah, aku ini seorang yang fakir, aku ingin berjualan di bawah naungan rumahmu, maka izinkanlah!”
Asma’ menjawab, “Ada apa denganmu, apakah di Madinah ini tidak ada rumah lagi selain rumahku?”
Mendengar hal itu, Zubair berkata kepada Asma’, “Mengapa kamu melarang seorang yang fakir berjualan?”
Akhirnya orang tersebut berjualan hingga mendapatkan hasilnya. Aku pun bisa menjual kepadanya seorang budak. Hingga pada suatu ketika, Zubair berkata kepadaku menanyakan uang hasil penjualannya yang pernah aku simpan. Zubair berkata, “Berikanlah uang itu padaku.” Lalu Asma’ menjawab, “Aku telah menginfakkan uang tersebut.” (HR. Muslim no. 2182)
Dalam hadits di atas, Asma’ berkata kepada orang miskin yang ingin berjualan dengan memanfaatkan naungan rumahnya. Perkataan Asma’ itu seolah-olah Asma’ tidak mengijinkan orang miskin tersebut dengan mengatakan, “Apakah di Madinah ini tidak ada rumah lagi selain rumahku?”
Padahal, yang dia inginkan adalah agar penolakannya itu didengar oleh suaminya, Zubair, agar Zubair mengijinkan orang miskin tersebut berjualan memanfaatkan naungan rumahnya. Dan ketika Zubair menegur Asma’ dan membolehkan si miskin jualan, maka sebetulnya itulah yang diinginkan oleh Asma’.
Dari kisah di atas, hendaknya suami senantiasa belajar bagaimanakah agar bisa memahami maksud tersembunyi sang istri. Suatu hari, bisa jadi sang istri mengatakan “Iya”, padahal dia maksudkan “Tidak”.
BACA JUGA: Kemurahan Hati Aisyah dan Asma
Di waktu yang lain, sang istri bisa jadi mengatakan “Tidak”, padahal maksudnya “Iya”. Dan bisa jadi, ketidakmampuan seorang suami membaca pikiran istri bisa menimbulkan masalah di antara mereka berdua. Semoga para suami dikaruniakan kesabaran dalam mendidik dan membimbing istrinya. []
SUMBER: MUSLIM