Oleh: Yulyati
byultwosan88@gmail.com
Wahai suamiku, bolehkah aku cemburu? Ketika engkau lebih menyukai foto-foto gadis manis di media sosial itu cemburu membakar hatiku. Ketika engkau lebih senang mendengarkan senandung syahdu dari penyanyi cantik itu daripada suara cemprengku saat kumengaji.
Wahai suamiku, bolehkah aku cemburu? Ketika engkau menceritakan kepiawaian seorang gadis bersolek yang bukan untuk suaminya. Ketika engkau menceritakan keelokan perempuan lain, kesedapan masakan teman perempuanmu di hadapanku di meja makan kita.
Wahai suamiku, bolehkah aku cemburu? ketika aku sakit engkau tiada peduli dengan keadaanku dan lebih peduli dengan keadaan temanmu.
Wahai suamiku, bolehkah aku cemburu? Ketika engkau memuji-muji kecerdasan dan kehebatan teman perempuanmu di hadapanku. Saat hatiku resah akan sulitnya menyerap ilmu dengan waktu singkat.
Wahai suamiku, maafkan aku telah memata-mataimu dan berprasangka tidak baik terhadapmu. Sebagaimana firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat:12)
Wahai suamiku, semoga prasangkaku tidak benar-benar nyata. Sungguh bila itu nyata sakitlah rasa hatiku. Apa engkau ingin termasuk orang-orang yang dzalim?
Wahai suamiku, bolehkah aku cemburu? Cemburuku ada ketika engkau berpaling dari syariat.
Wahai suamiku, engkau milik Allah. Aku titipkan engkau pada-Nya.
Wallahu ‘Alam bisshowab. []