WAKAF memiliki peran penting dalam menyejahterakan umat. Menurut Ketua PP Muhammadiyah Prof Syafiq A Mughni, wakaf telah dikenal di zaman Nabi, seperti dalam riwayat ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Nabi tentang tanahnya di Khaibar. Nabi menyarankan supaya tanah itu diwakafkan, dan hasilnya dipergunakan untuk fakir miskin, memerdekakan budak, orang terlantar, dan seterusnya.
“Pada masa awal Islam, wakaf sudah ada, tetapi formulasinya masih belum terumuskan dengan baik,” katanya. Perumusan konsep wakaf muncul kemudian. Misalnya, Abu Yusuf menulis Kitab al-Kharaj atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid. Kitab ini menerangkan tentang pengelolaan keuangan negara, zakat, jizyah, dan wakaf.
BACA JUGA: BWI: Wakaf Uang, Jalan Pintas Umat Kejar Ketertinggalan Ekonomi
Di masa selanjutnya, ada banyak pengelolaan wakaf untuk kemaslahatan umum, termasuk untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
George Makdisi dalam The Rise of Colleges (1981) menemukan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan universitas dalam Islam banyak lahir dari wakaf. Pengalaman ini menginspirasi banyak lembaga di dunia.
Senada itu, Guru Besar UIN Jakarta Prof Amelia Fauzia menyebut bahwa peranan wakaf sangat besar sepanjang sejarah.
Wakaf tidak hanya diperuntukkan bagi masjid, tetapi juga untuk madrasah, panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga publik lainnya. Wakaf telah menginspirasi adanya dana abadi.
BACA JUGA: Mewakafkan Uang, Bolehkah?
“Wakaf tunai ini adalah bagian dari wakaf produktif yang menjadi salah satu solusi yang diharapkan untuk memperkuat wakaf yang sudah ada,” katanya.
Amelia melihat dua tipologi wakaf: wakaf fasilitas publik dan wakaf produktif. Mesir dapat menjadi contoh dalam memanfaatkan aset wakaf, berupa perkebunan, pasar, toko, gudang, hingga pabrik. []
SUMBER: BWI