KHITAN disyariatkan oleh Rasulullah SAW dan ia wajib dilakukan oleh kaum Adam. Tetapi, apakah khitan ini harus dilakukan para wanita?
Dalam hal ini para ulama berbeda pandangan. Sebagian dari ulama kalangan madzhab Syafi’i menyatakan bahwa khitan itu adalah wajib baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Sebagaimana hal ini disampaikan dalam Kitab I’anatuth Thalibin.
ووجب ختان للمرأة والرجل حيث لم يولدا مختونين
“Wajib berkhitan bagi perempuan dan laki-laki jika waktu dilahirkan belum keadaan terkhitan.”
Kapan waktu terbaik melaksanakannya? Dalam Kitab Tuhfatul Habib disebutkan bahwa:
ﻗﺎﻝ ﺍﻷﺻﺤﺎﺏ : ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﺨﺘﺎﻥ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ، ﻭﻳﺴﺘﺤﺐ ﺃﻥ ﻳﺨﺘﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺒﻊ ﻣﻦ ﻭﻻﺩﺗﻪ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺿﻌﻴﻔﺎً ﻻ ﻳﺤﺘﻤﻠﻪ ﻓﻴﺆﺧﺮ ﺣﺘﻰ ﻳﺤﺘﻤﻠﻪ
“Para santri Imam Syafi’i berkata bahwa sesungguhnya khitan itu wajib setelah dewasa. Namun pelaksanaannya sunah dilakukan saat bayi berusia tujuh hari dari hari kelahirannya, terkecuali bila kondisi bayi tersebut lemah dan tidak mampu menanggungnya, maka pelaksanaannya bisa ditunda sampai ia dewasa.”
Meski demikian, ada juga sebagian ulama yang menyatakan bahwa khitan adalah perkara yang hanya sekadar sunah saja pelaksanaannya untuk perempuan.
Dalam Kitab Al-Fatawy Nomor Fatwa 68002 disebutkan:
ﻭﺍﻟﺮﺍﺟﺢ ﺃﻥ ﺍﻟﺨﺘﺎﻥ ﺳﻨﺔ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻭﻟﻴﺲ ﺑﻮﺍﺟﺐ
“Pendapat yang unggul adalah bahwasanya khitan itu hukumnya sunah bagi kaum perempuan, tidak wajib.”
Bagaimana cara khitan untuk perempuan?
Khitan bagi kaum laki-laki adalah dilakukan dengan jalan memotong sedikit bagian qulfah dari kemaluan. Sedangkan untuk wanita, maka cara melaksanakannya adalah dilakukan dengan jalan memotong sedikit bagian daging paling atas yang menyerupai cengger ayam (bizhir/klitoris).
Dalam Kitab Nihayatuz Zain disebutkan:
وفي الأنثى بقطع جزء يطلق عليه اسم الختان من اللحمة الموجودة بأعلى الفرج فوق ثقبة البول تشبه عرف الديك وتسمى البظر
“Dan khitan bagi wanita adalah dilakukan dengan jalan memotong sebagian dari daging yang berada paling atas farji, tepatnya di atas lobang keluarnya air kencing yang bentuknya menyerupai cengger ayam, dan daging tersebut dinamakan bizhir.” Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online.