Oleh: Ridwan Hd.
JANTUNG Buya Hamka terasa berdebar-debar menanti apa yang akan diucapkan istrinya, Ummi Siti Raham, ketika diminta berpidato. Ummi yang belum pernah naik mimbar menyanggupi permintaan pembawa acara untuk berpidato pada sebuah pengajian di suatu tempat di Makassar tahun 1967. “Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh,” dengan lancar Ummi membuka sambil tetap tersenyum.
“Saya diminta berpidato tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato, sejak dari memasakan makanan hingga menjaga kesehatannya. Oleh karena itu maafkan saya tidak bisa bicara lebih panjang. Wassalamu’alaikum warrahmatullah,” ucapnya yang singkat lalu turun dari mimbar.
“Diluar dugaan, hadirin yang ribuan jumlanya bertepuk tangan riuh sekali.” tulis Rusydi yang menceritakan pengalaman ayahnya, Buya Hamka, dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Hamka. Kejadian itu membuat Buya Hamka menitikkan air mata. Para hadirin pun berteriak, “Hidup Ummi, hidup Ummi!”
BACA JUGA: Wibawa Dakwah Buya Hamka
Apa yang diucapkan Ummi dalam “pidato” saat kejadian itu memang diakuinya sebuah kenyataan. Selama 43 tahun, dengan setia Ummi menemani perjuangan suaminya sebagai seorang penulis, pejuang, politikus hingga ulama. Tidak hanya menemani, pilihan jalan hidup Sang Ulama ini juga pernah diputuskan oleh Ummi.
Sejak tahun 1950, Buya Hamka bekerja sebagai pegawai tinggi Kementrian Agama sekaligus menjadi anggora konstituante dari fraksi Partai Masyumi. Selama sidang konstituante, Buya Hamka terbilang keras dan berani menentang konsepsi Presiden Soekarno. Sikap presiden yang semakin otoriter di tahun 1959 mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menyebabkan Buya Hamka harus memilih, antara menjabat pegawai negeri atau anggota partai. “Apa pilihan kita Mi?” tanya Hamka minta pertimbangan Ummi.
Menurut Rusydi, tak ada tanda-tanda kecemasan pada wajah Ummi. Ummi tak takut kehilangan gaji suaminya sekian ribu rupiah. Begitu juga jatah beras yang biasa diterima tiap bulan. Dengan tenang Ummi menjawab, “Kita kan tak pernah menjadi orang kaya dengan kedudukan ayah.” Lalu dengan senyum Ummi menghibur suaminya, “Jadi Hamka sajalah!”
“Ayah menitikkan air mata menatap wajah Ummi yang seolah-olah tak sadar, ucapan-ucapannya telah menguatkan hati ayah sebagai seorang pejuang menentukan keputusan yang pasti.” Lanjut Rusydi mengisahkan. Memang benar, keputusan meninggalkan jabatan pegawai negeri membuat keluarga Hamka mengalami hari-hari yang sulit dan merubah jalannya sejarah kehidupan Hamka. Keputusan tetap menjadi jalur penentang Presiden Soekarno yang telah menerapkan Demokrasi Terpimpin saat itu membuatnya masuk daftar tahanan politik di kemudian hari.
KELANJUTAN ARTIKEL INI DI HALAMAN SELANJUTNYA