Tak hanya Ummi Siti Raham, Nur Nahar juga punya sikap teladan yang selalu diingat suaminya, Mohammad Natsir. Pengalaman kehidupan mantan Perdana Mentri Republik Indonesia ini dengan Nur Nahar, yang juga dipanggil Ummi, dimulai ketika awal-awal pernikahannya. Sekolah Pendidikan Islam (Pendis) yang didirikan Natsir sebelum Indonesia Merdeka mengalami kesulitan keuangan setelah sang donatur utama, Haji Muhammad Yunus, meninggal. Berbagai cara Natsir lakukan untuk tetap menghidupi sekolah tersebut. Salah satunya menggadaikan gelang emas milik istrinya. Perhiasan ini bukan pemberian Natsir, tapi sudah dimiliki sang istri sebelum mereka menikah. Nur Nahar bersedia menggadaikannya.
“Gelang emas Ummi yang satu-satunya itu mempunyai riwayat. Kalau Pendis sudah dalam kesulitan, maka gelang emas itu berpindah tempat dari tangan istrinya ke lemari pajak gadai. Kalau keadaan agak senggang sedikit, ia tebus kembali.” tulis Tim Penyusun buku Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.
Seringnya gelang emas milik istrinya berpindah ke pegadaian menjadi kenangan terindah. Natsir pun lupa sudah berapa kali gelang itu berpindah ke pegadaian. Yang paling diingat Natsir adalah tidak pernah melihat wajah istrinya berubah atau mendung di waktu dia terpaksa harus menggadaikan gelang emas ke pegadaian. Semua itu dilakukannya untuk berbakti kepada Allah.
BACA JUGA: Belajar Jatuh Cinta dari Istri Buya Hamka (1)
Sikap takjub Natsir kepada Nur Nahar sudah terlihat sejak ia bersedia mengajar di Sekolah Pendis yang baru berdiri. Pilihan Natsir untuk berkhidmad pada agama memutuskannya mendirikan sebuah sekolah Pendis. Keputusan ini membuat jalan hidupnya penuh liku terutama dalam harta dan penghidupan. Padahal, sebagai lulusan AMS ia bisa memilih menjadi pegawai pemerintah dengan gaji yang mapan, tapi ditolaknya.
Di saat mendirikan Pendis itu pula ia menemukan sosok Nur Nahar yang bersedia menjadi guru tingkat Taman Kanak-kanak. Sama seperti keputusan Natsir, Nur Nahar yang sebelumnya bekerja di sebuah sekolah yang didanai pemerintah dengan gaji yang terbilang besar, juga memutuskan untuk berhenti dan ikut bergabung ke Sekolah Pendis dengan gaji seadaanya. Nur Nahar tidak melihat besarnya penghasilan, tapi tertarik dengan misi dan cita-cita yang dibawa oleh Natsir. Natsir jatuh hati dan menikahinya dalam kondisi pas-pasan dan seadanya.
Cerita pengorbanan sang istri juga dialami Sjafruddin Prawiranegara. Meski menjabat sebagai mentri, Sjafruddin bukanlah pejabat yang penuh denga kemewahan. “Keadaanya jauh lebih sederhana, malah dekat kepada melarat.” Kata Ajip Rosyidi dalam Sjafruddin Prawira Negara Lebih Takut Kepada Allah. Keadaan ini yang menjadi pengorbanan sang istri Sjafruddin, Teuku Halimah, berjuang mempertahankan kebutuhan keluarga. Berjualan sukun menjadi cara sang istri mentri, yang akrab dipanggil Lily, membantu suami memenuhi kebutuhan keluarganya.
Akmal Nasery Basral dalam Presiden Prawiranegara mengisahkan dialog Lily bersama Aisyah ketika mereka di tinggal Sjafruddin yang sedang memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Saat berjualan sukun itu, ada protes dari Icah, panggilan Aisyah. “Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno dan Wakil Presiden Om Hatta serta Om Hengky (Sri Sultan Hamangku Buwono IX),” tanya Icah.
“Ayahmu sering mengatakan kepada ibu agar kita jangan bergantung pada orang lain, Icah. Kalau tidak penting sekali jangan pernah jangan pernah meminjam uang, jangan pernah berutang,” kata Lily.
“Tapi apa ibu tidak malu? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat,”, kata Icah.
“Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu,” kata Lily, memberi penjelasan pada anak sulungnya itu.
BACA JUGA: Wanita-wanita di Balik Layar Sejarah I
Ketika Sjafruddin terlibat pemberontakan PRRI/Permesta, Lily dan anak-anaknya juga dibawa ke Sumatera. Mereka hidup berpindah-pindah sambil menemani sang suami berjuang melawan sikap Presiden Soekarno yang dianggap melanggar konstitusi oleh para pejuang PRRI/Permesta.
Setelah pemberontakan selesai. Sjafruddin dan sekeluarga kembali ke Jakarta. Namun, ini masih menjadi ujian bagi Lily. Sjafruddin menjadi tahanan politik Presiden Soekarno. “Sukar dilukiskan betapa sulitnya waktu itu buat Ibu Lily untuk mempertahankan hidup. Dengan menjual perhiasan yang ada menurut keperluan, dan kadang-kadang pemberian dari kerabat dan sahabat, ia berhasil menghidupi keluarga yang menjadi tanggungannya.” Tulis Ajip Rosyidi.
Soal istri yang berjuang memenuhi kebutuhan keluarga, Ny. Soeharsikin istri Tjokroaminoto, juga tidak bisa dilewatkan. Keputusan Tjokro terlibat di Sarekat Islam membuatnya harus melepaskan pekerjaan dari sebuah perusahaan swasta. Kebutuhan hidupnya yang dibiayai dari para donatur Sarekat Islam kurang cukup memenuhi kehidupan keluarga. Ny. Soeharsikin memutuskan untuk membuka usaha kos-kosan di rumah yang mereka tinggali agar ada pemasukan.
“Semenjak itulah ia tidak lagi menggantungkan nafkah rumah tangga pada suaminya, tetapi membanting tulang sendiri, membuka internaat (kos-kosan), dan selaku induk-semang, tidak sedikit anak-anak keluaran ‘internaat-Soeharsikin’ ini yang menjadi pemimpin-pemimpin besar: Soekarno, Alimin, Moeso, Kartosuwiryo, Abikoesno, dan banyak lagi.” Tulis Amelz dalam HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perdjuanganja. []
BERSAMBUNG…