TERKADANG kita sering mengeluh karena kondisi diri yang dinilai lebih buruk dari orang lain. Bahkan, tak jarang hal itu membuat kita sampai harus berbohong demi menutupi keadaan hidup yang sebenarnya. Semua itu pada akhirnya membuat diri kita kurang bersyukur terhadap nikmat Allah yang sudah diberikan kepada kita dari sejak lahir di dunia sampai saat ini.
Berikut ada kisah tentang seseorang yang kurang bersyukur dan ambilah hikmah dari kisah tersebut.
“Di mana rumahmu, Anti?” tanya Reha.
BACA JUGA: Bapak Kenal Haji Ahmad?
Anti bingung, ia tidak siap menjawab pertanyaan Reha kawannya itu. Pertanyaan sederhana Reha menjadi tidak sederhana di mata Anti.
Dengan gagap Anti menjawab, “Rumah saya ada di ujung jalan ini.”
Ditunjukkanlah kepada Reha sebuah rumah yang agak mewah yang diakuinya sebagai miliknya. Kebetulan rumah itu sedang digembok.
“Ini rumahmu, Anti?” tanya Reha lagi.
Anti mengangguk. “Saya mau membuatkan kamu minuman, Reha. Cuma kuncinya kebetulan lagi dibawa pembantu saya ke pasar.”
Tanpa menunggu waktu jeda, Reha merogoh kantungnya dan berkata, “Kunci ini yang kamu maksud? Kunci ini ada pada saya sebab rumah ini memang rumah saya…”
Keduanya terdiam sesaat.
“Kamu tidak berubah, Anti. Saya sangat kecewa. Terimalah keadaan suamimu apa adanya. Supaya kamu bisa merasakan kebahagiaan.”
Rupanya rumah yang Anti tunjukkan kepada Reha adalah rumah Reha sendiri.
Anti, memang kurang menerima kondisi kehidupan yang apa adanya. Dulu Anti seorang yang kaya. Namun, keadaan bisa berbalik. Ia banyak meratapi nasibnya setelah suaminya ‘turun derajat’ menjadi tukang las (tadinya punya usaha sendiri). Kini, penghasilan suaminya hanya cukup untuk membeli makan. Jangankan untuk membeli rumah, bisa membayar kontrakan saja sudah sangat luar biasa baginya.
BACA JUGA: Tahu yang Remuk
Kehidupan Anti menjadi sempit. Ia tidak bisa berlapang dada karena ia memandang sempit kehidupannya. Kebahagiaan selalu ia ukur dengan kacamata orang lain yang secara status ekonomi dan sosialnya lebih tinggi darinya. Keributan yang sering terjadi lebih sering bermuara pada ketidakpuasan akan kehidupan yang tengah ia jalani walaupun ia memiliki suami yang sayang kepadanya, dan anak-anak yang manis dan penurut.
“Anti, lihatlah saya?” pinta Reha.
“Apabila kamu lihat diri saya dari sisi rumah yang mewah ini, apabila kamu lihat diri saya dari sisi mobil yang engkau tumpangi, niscaya saya terlihat lebih senang dari pada kamu, Anti. Tapi, lihatlah lebih jauh lagi. Lima belas tahun saya berumah tangga, tidak satu pun anak yang saya miliki. Sedang kamu, dalam usia pernikahan di bawah saya, sudah dua anak kamu punya. Lihatlah dari sisi ini, sisi di mana kamulah yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan saya.”
“Dulu juga saya sama,” lanjut Reha.
“Bukankah kita berasal dari tipe keluarga yang sama? Sama-sama miskin. Suami saya juga dulu miskin!”
Selanjutnya Reha bercerita, satu hal yang membedakan dia dengan Anti adalah ia sangat jarang mengeluh. Ia menerima kehidupan apa adanya sehingga kehidupan tetap menyenangkan dan nyaman. Suasana yang kondusif ini menyebabkan Reha bisa mendukung suaminya untuk lebih bersemangat mencari rezeki. Bahkan belakangan, ketika ada beberapa kesempatan mengais rezeki, Reha pun ikut turun ke lapangan. Perjuangan sekian tahun ini kemudian berbuah manis, dengan buah yang dilihat oleh Anti. Ini pula kebiasan orang, selalu melihat hasil orang lain, sedangkan perjuangan orang tersebut untuk mencapai hasil jarang sekali dilihat.
“Sudahlah Anti, jangan malu melihat bulan, jangan malu menatap bintang, hanya karena kamu saat ini menjadi rumput!”
BACA JUGA: Sayang, Kamu Dimana?
Seperti apa yang telah Allah firmankan berikut ini: “Dan jangan engkau tunjukan penglihatanmu kepada yang Kami beri kesenangan dengannya berbagai golongan dari mereka berupa perhiasan kehidupan dunia, supaya Kami menguji mereka padanya. Sedangkan rezeki Tuhanmu lebih baik dan kekal,” (QS. Thaha [20]:131). []
Sumber: Kaya Lewat jalan Tol (Kaya Hati, Kaya Rasa, Kaya Raya)/Ustadz Yususf Mansur/Bandung: PT. Salamadani Pustaka Semesta