DAKWAH itu tidak mudah, terkandung banyak ujian di dalamnya. Dakwah merupakan bentuk cinta seorang pendakwah, pengorbanan yang tak sedikit pun harus dilakukan. Seorang pendakwah sudah seharusnya siap untuk memberikan yang terbaik berupa harta maupun jiwanya.
“Ya Rasulullah,” tanya sahabat sebagaimana diriwayatkan dari Khabbab bin al-Arat, “mengapa engkau tidak memohon pertolongan untuk kami?” Lanjut mereka seakan menggugat, “Dan, mengapa engkau tidak mendoakan kami?”
Bukan, ini bukan pertanyaan pembangkangan. Ini bukan makar seorang sahabat kepada yang dikasihinya. Ini adalah sebentuk cinta, bahwa mereka yang bertanya amat yakin kepada Allah Ta’ala dan Nabi yang diikutinya itu. Ini adalah sebuah pertanyaan yang bermaksud meneguhkan mereka dalam dakwah yang dipenuhi makar dan tipu daya.
“Sesungguhnya,” jawab sang Nabi penuh cinta, “orang-orang sebelum kalian, ada di antara mereka yang digergaji pada tengah-tengah kepalanya hingga terbelah sampai kedua kakinya.” Meski demikian, tutur Rasulullah dengan amat lembut, “Hal itu tidak memalingkan dirinya dari agama yang dipeluknya.”
Itulah kalimat pertama sang Nabi. Beliau hendak menegaskan tabiat dakwah yang sebenarnya. Lanjut sosok teladan sepanjang masa itu, “Ada juga yang tubuhnya disisir dengan sisir besi hingga terpisah antara daging dan tulangnya.” Namun, “Hal itu tidak memalingkan mereka dari agamanya.”
Tatkala sahabat-sahabatnya itu mendengarkan dengan tunduk dan patuh, beliau yang mulia akhlak dan terpuji hingga akhir zaman ini bersumpah, “Demi Allah,” lanjut beliau, “Allah benar-benar akan menyempurnakan perkara (agama) ini sehingga seseorang berkendaraan dari Shan’a menuju Hadhramaut, hingga mereka tidak merasa takut kecuali kepada Allah Ta’ala dan hanya mengkhawatirkan serigala atas kambingnya. Tetapi, kalian adalah kaum yang tergesa-gesa,” kata beliau.
Cobaan dalam dakwah beragam jenisnya. Baik berupa penyakit, kefakiran, mapun goncangan jiwa saat berhadapan dengan musuh. Namun, para dai itu akan senantiasa tegar dan sabar, sebab yang menjadi harapan mereka adalah surga.
Maka yang menjadi kekhawatiran mereka adalah tatkala amalannya tak diterima di sisi Allah Ta’ala, bukan kehilangan harta, keluarga maupun jiwanya. []
Sumber: kisah hikmah