SEPERTI halnya Khalifah Umar, Khalifah Ali pun seringkali berkeliling untuk melihat langsung keadaan rakyatnya.
Suatu hari, alangkah terkejutnya ia melihat seorang Yahudi memegang baju besi kesayangannya yang hilang. Sejenak, Ali berprasangka Yahudi itu telah mencurinya. la pun mendatangi Yahudi itu.
“Wahai Tuan, baju besi ini adalah baju perangku yang hilang,” kata Ali dengan sopan.
“Bukan, Tuan. Jangan mentang-mentang Tuan adalah seorang khalifah lantas Tuan berkata seperti itu,” jawab si Yahudi sengit.
BACA JUGA:Â Alasan Abdullah bin Amr bin Ash Ikut Perang Melawan Ali bin Abi Thalib
“Tuan keliru. lni tak berhubungan dengan kedudukan saya. Jika demikian, marilah kita selesaikan masalah ini di pengadilan,” ajak Ali.
Si Yahudi menurut. Mereka berdua mendatangi pengadilan. Hakim yang menangani perkara mereka adalah Syuraih bin al-Harits al-Kindi. Rupanya, karena kearifan dan kebijaksanaannya, Khalifah Ali tetap mempertahankannya sebagai khodi (juru hukum).
Melihat kedatangan Syuraih si Yahudi menjadi resah. Hakim Syuraih adalah murid dari Khalifah Ali. Keputusannya nanti pasti memenangkan Ali.
“Ada masalah apakah engkau kemari, wahai Khalifah?” tanya hakim Syuraih.
“Hakim Syuraih, aku mendapati baju perangku dibawa orang Yahudi ini, sementara aku tak pernah memberikan baju itu kepadanya,” jawab Ali.
“Benarkah demikian, Tuan?” hakim Syuraih bertanya pada si Yahudi.
“Tidak benar, Tuan Hakim. Baju ini milikku karena aku yang membawanya,” bela si Yahudi.
“Wahai Khalifah, apakah Anda memiliki bukti bahwa baju ini milik Anda?” tanya hakim Syuraih lagi.
“Ya.”
“Mengapa Anda begitu yakin wahai Khalifah?”
“Karena hanya aku yang memiliki baju perang seperti ini. Dan aku tidak pernah menjual atau memberikannya pada siapa pun,” jelas Ali.
“Apakah Anda bisa mendatangkan dua orang saksi?”
“Bisa.”
“Siapakah saksi Anda?”
“Pembantuku, Qanbar, dan anakku, Hasan.”
“Maaf, wahai Khalifah. Hasan adalah putra Anda. Bagaimana kesaksian seorang anak untuk ayahnya dapat diterima?”
Ali bin Abi Thalib terperangah. la tak menduga sama sekali hakim Syuraih menolak Hasan sebagai saksinya.
“Wahai Hakim, mengapa engkau menolak kesaksian putraku? Tidakkah kau tahu Rasulullah telah mengabarkan ia adalah pemimpin para pemuda surga?” tanya Ali.
“Putramu memang penghulu pemuda surga. Aku tidak mengingkarinya. Kesaksiannyalah yang tidak bisa aku terima,” sahut hakim Syuraih bergeming.
“Aku tidak punya saksi yang lain lagi,” kata Ali.
BACA JUGA:Â Ketika Ali bin Abi Thalib Merobek Gerbang Besi Khaybar
“Jika demikian, baju ini adalah milikmu, hai Yahudi!” kata hakim Syuraih. “Engkau boleh membawanya pulang!”
“Benarkah aku dapat membawanya pulang, wahai Khalifah?” tanya si Yahudi meyakinkan diri.
“Ya, baju itu milikmu. Keputusan pengadilan ini adalah keputusan yang seadil-adilnya,” jawab Ali.
Ali bin Abi Thalib menerima keputusan itu dengan lapang dada meski ia pun merasa kecewa. Baju besi itu adalah baju kesayangannya dan benar-benar miliknya. Hakim Syuraih memenangkan si Yahudi. Apalah daya. Hukum tetaplah hukum yang harus ditegakkan. Ia sadar kedudukannya dalam permasalahan itu lemah karena kurangnya saksi.
Sebaliknya dengan si Yahudi. Kemenangan yang ia peroleh tidak membuatnya bersorak gembira. Hatinya luruh oleh ketegasan keputusan hakim Syuraih. Prasangkanya salah. Hakim yang terkenal adil itu tidak memenangkan Ali meski ia adalah gurunya.
“Wahai Khalifah, baju ini memang milikmu,” katanya sembari bersimpuh di hadapan Ali. “Aku mengambilnya saat terjatuh sepulang engkau dari Perang Shiffin. Ambillah kembali bajumu ini. Hari ini, aku telah menyaksikan keputusan adil dari seorang Muslim dan aku menyataan diri memeluk Islam. Asy-hadu anla ilaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”
BACA JUGA:Â Alasan Abdullah bin ‘Amr bin Ash Ikut Perang Melawan Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib sungguh terharu. Ia memeluk si Yahudi sembari berkata, “Aku berikan baju besi itu kepadamu, juga kudaku.”
Seterusnya Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap mempercayakan jabatan hakim kepada Syuraih bin al-Harits al-Kindi. Jabatan itu berlanjut pada pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan hingga khalifah sesudahnya. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit: al-Qudwah Publishing/ Februari, 2015