ALLAH SWT telah mengharamkan bagi orang-orang Yahudi penakut untuk mendapatkan kemuliaan jihad, pembebasan, dan menguasai negeri Palestina. Allah telah menetapkan atas mereka pengalaman pahit berupa tiih di Gunung Sinai dan dan Dia menetapkan lamanya selama 40 tahun. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya dalam Surah Al-Ma’idah (5) ayat 26:
قَالَ فَاِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ اَرْبَعِيْنَ سَنَةً ۚ
yaitu (jika demikian), sesungguhnya (negeri) itu terlarang untuk mereka selama 40 tahun.
Mengapa 40 tahun? Sesungguhnya, jangka waktu 40 tahun mencakup kehidupan dua generasi. Mungkin saja, hikmah dan penentuan waktu ini adalah habisnya generasi penakut dari Bani Israil itu. Generasi yang sama sekali tidak mau menerima manfaat dari dukungan rangsangan dan motivasi.
Generasi yang tidak dapat diharapkan timbulnya jihad karena tidak lagi memiliki gairah dan semangat. Oleh karena itu, generasi ini hanya perlu dinantikan kepunahannya. Dengan demikian, akan datang generasi baru yang memiliki kemampuan untuk berperang dan membebaskan tanah suci Palestina.
BACA JUGA: Saat Munafikin Menghianati Yahudi Madinah
Apa saja yang dialami generasi pecundang ini saat menunggu dekatnya masa kemusnahan mereka? Mereka mengalami تِيْهُ (berputar-putar kebingungan) di gurun pasir sebagaimana disampaikan dalam firman-Nya, yaitu dalam lanjutan Surah Al-Ma’idah (5) ayat 26:
يَتِيْهُوْنَ فِى الْاَرْضِۗ
(selama itu) mereka akan mengembara kebingungan (yatiihuuna) di bumi.
Mereka kebingungan tersesat di Gunung Sinai, hidup terlunta-lunta di gunung pasir yang gersang, dan merasakan kepahitan serta kesusahan hidup di padang pasir. Orang akan merasa heran akan apa yang menimpa generasi pecundang itu. Allah sebenarnya telah membuka jalan keberanian dan kemuliaan, tetapi mereka menolaknya.
Allah telah mengajak mereka untuk hidup bahagia di negeri Palestina dengan segala kemakmurannya asalkan mau membayar dengan jihad. Namun, justru mereka menarik diri. Dengan demikian, Allah menggantinya dengan berputar-putar (تِيْهُ) di gurun pasir. Apa yang terjadi di Gunung Sinai itu merupakan pengganti negeri Palestina.
Bagaimana mereka bisa menerima penggantian ini? Bagaimana mereka bisa menerima sesuatu yang hina sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Apa motif mereka sehingga mau melakukan transaksi yang merugikan ini?
Sesungguhnya, motif mereka adalah rasa takut, jiwa hina, mental lemah, dan wahn (ambisi terhadap kehidupan dunia). Mereka berpikir, bukankah di gurun sahara itu juga dalam keadaan hidup? Bukankah di sana juga dapat memelihara jiwa dan darah mereka? Selama mereka bisa menjamin semuanya, mengapa harus mengambil risiko menapaki jalan pembebasan Palestina? Mengapa memilih lebih baik meninggalkan negeri Palestina dan menuju Gurun Sahara yang menjamin kelangsungan hidup mereka? Inilah logika picik mereka. Mahabenar Allah dengan firman-Nya ketika berpendapat tentang mereka, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 96:
وَلَتَجِدَنَّهُمْ اَحْرَصَ النَّاسِ عَلٰى حَيٰوةٍ ۛوَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا ۛيَوَدُّ اَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ اَلْفَ سَنَةٍۚ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهٖ مِنَ الْعَذَابِ اَنْ يُّعَمَّرَۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَ ࣖ
Engkau (Nabi Muhammad) sungguh-sungguh akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi) sebagai manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia), bahkan (lebih tamak) daripada orang-orang musyrik. Tiap-tiap orang (dari) mereka ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka dari azab. Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Ada beberapa hikmah pelajaran dari peristiwa dan pengalaman تِيْهُ orang-orang Yahudi di Gurun Sahara, yaitu sebagai berikut:
Pertama, sesungguhnya تِيْهُ itu sebagai pengganti negeri Palestina karena hanya ada dua jalan, tidak ada yang ketiga, yaitu jalan kemuliaan, kehormatan, kemenangan kekuasaan, serta berperang melawan musuh dan membebaskan negeri atau jalan pengecutan, kehinaan, ketamakan terhadap kehidupan dunia, serta bakhil atas jiwa dan harta. Jalan kedua akan mengantarkan mereka pada ketelantaran, kesesatan, dan kebingungan mencari jalan. Generasi Yahudi pecundang itu telah memilih jalan hidup yang kedua. Oleh karena itu, mereka berhak merasakan akibatnya mengalami تِيْهُ di bumi.
BACA JUGA: Alasan Yahudi Ingin Kuasai Baitul Maqdis
Kedua, تِيْهُ berarti terlunta-lunta, terlantar, dan tersesat jalan. Kondisi tersebut pasti akan dialami setiap orang yang tidak mengikuti jalan jihad, jalan hidup para ksatria Mujahid. Sesungguhnya, orang-orang yang tidak berjuang di jalan Allah dan tidak memerangi musuh maka mereka akan berputar-putar kebingungan lama kehilangan arah dan hidupnya terlantar serta merugi. Berapa banyak kerugian yang ditanggung suatu umat ketika mereka lari dari jalan? Ia adalah sebuah kerugian yang menyeluruh. Mereka menyia-nyiakan harta, waktu, umur, bakat kemampuan, potensi sumber daya usaha, masa muda, tanah air, cita-cita sejarah, eksistensi, dan kebahagiaan mereka. Berapa banyak kerugian yang mereka tanggung karena meninggalkan jihad? Inilah yang terjadi pada umat Islam belakangan ini. Mereka menolak berjihad melawan Yahudi dan justru memilih jalan damai yang pelik dan hina. Mereka terjebak dalam تِيْهُ yang tiada habisnya, ketelantaran yang menyeluruh, serta kerugian yang merata.
Ketiga, sebenarnya tiih adalah proses menuju punahnya generasi pecundang karena generasi yang hina dan pengecut tidak akan menjawab panggilan jihad walaupun itu benar (hak). Oleh karena itu, jika menginginkan suatu komunitas masyarakat berkeinginan mengikuti jalan-jalan generasi pengecut ini harus ditinggalkan karena hanya akan merepotkan dan tidak responsif.
Generasi pecundang ini harus ditinggalkan agar punah dan setelahnya tumbuh generasi baru yang militan. Agar dapat membuahkan hasil, generasi baru harus diarahkan untuk tumbuh dengan nilai-nilai luhur melalui pembinaan yang memakai cara dan metode pendekatan baru. Mengapa sebagian orang pada zaman kita masih ada yang mau melelahkan diri dan menyia-nyiakan usaha dalam membujuk dan meminta orang-orang penakut untuk berjihad dan memerdekakan Palestina serta menawarkan kepada mereka rencana dan strategi perjuangan atau mengagungkan cita-cita kepada mereka? Mereka tidak akan memahami, mendengarkan, dan menyambut seruan ini.
Keempat, di antara hikmah peristiwa تِيْهُ yang terjadi di sini adalah karena Sinar merupakan guru Sahara yang memiliki alam dan lingkungan tandus dan keras. Kondisi alam yang sulit dan kehidupan yang susah ini dipilih oleh Allah sebagai tempat bagi generasi baru dari Bani Israil agar tumbuh dalam iklim pendidikan yang baru, Di sana dapat dipersiapkan segala sesuatunya secara khusus bagi generasi baru agar kelak dapat memasuki negeri Palestina dan membebaskannya dari orang orang tiran yang adikuasa.
BACA JUGA: Strategi Perang Rasulullah ﷺ Menghadapi Yahudi
Memang, demikianlah kejadiannya. Hal ini menyadarkan kita akan pentingnya menyiapkan generasi Rabbani dan pemusatan perhatian dalam memberikan iklim konduksi terhadap mereka untuk tumbuh menjadi generasi yang memiliki nilai-nilai jihad ini.
Sudah seharusnya mereka membuang atau meninggalkan kemewahan dan kesombongan serta pemborosan harta, keluar dari kehidupan yang hina dan bengis serta rusak, meninggalkan kesenangan dan kenikmatan dalam berbuat jahat, dan tidak mempertuhankan hawa nafsu berlebih-lebihan.
Sudah seharusnya mereka menjauhi gaya hidup berlebihan royal dan bermewah-mewahan. Mereka harus keluar dari kehidupan yang dipenuhi kesenangan dan kesia-siaan. Mereka harus meninggalkan kemanjaan foya-foya dan gaya hidup santai yang dapat mematikan jiwa. Generasi Rabbani harus mengurangi gaya hidup konsumtif, melatih diri untuk terbiasa hidup zuhud di dunia, dan bersikap ksatria menghadapi godaan kenikmatan duniawi. Dengan demikian, mereka tidak akan menjadi tawanan dan budak dunia yang mendahulukannya atas jihad. Generasi ini tidak akan pernah gentar menghadapi musuh untuk mencari kenikmatan duniawi.[]
SUMBER: PUSAT STUDI QURAN