NABI Yusuf a.s. adalah sang dermawan, putra sang dermawan, cucu sang dermawan, cicit sang sahabat karib Ar-Rahman. Nabi Allah Yusuf Ash-Shiddiq adalah putra Nabi Allah Yaqub a.s., cucu Nabi Allah Ishaq a.s. dan cicit Bapak Para Nabi yang sekaligus sahabat karib Ar-Rahman, Ibrahim a.s., Yusuf a.s. dianugerahi seluruh keelokan yang dimiliki manusia.
Dia dikaruniai ketampanan dan kerupawanan, kejernihan warna dan kebersihan kulit yang tidak terperi, sampai-sampai seluruh dunia mengetahui ketampanannya dan keindahan parasnya. Dia mewarisi paras menawan dari kakeknya, Ishaq. Sebab, kata isheiq dalam bahasa Ibrani berarti orang yang tertawa.
Ishaq mewarisi paras yang menawan dari ibunya, Sarah, yang konon cantiknya separuh dari kecantikan Hawa. Setelah nikmat itu sempurna bagi Yusuf a.s., dan setelah mendekat kepadanya yang dekat dan yang jauh, dan setelah bersujud kepadanya saudara-saudaranya serta ayahnya, sebagai bentuk penghormatan dan kekaguman—hal ini diperbolehkan dalam syariat mereka, tetapi telah diharamkan oleh Islam—, dia pun berdoa kepada Allah dengan doa berikut:
BACA JUGA: Zulaikha Berusaha Menjebak Nabi Yusuf di Setiap Kesempatan
“Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganu-gerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang saleh.” (QS Yusuf (12.1: 101)
Yusuf yang mengharapkan kematian itu, dipanjatkan saat dia dalam pembaringan menjelang kematiannya. Ini boleh dilakukan saat menjelang kematian, menurut kesepakatan ulama. Jika ternyata kedua arti tersebut sama-sama tidak tepat, mungkin saja memohon kematian diperbolehkan dalam syariat mereka.
Namun, dalam Islam tidak diperbolehkan mengharapkan kematian, kecuali jika khawatir tertimpa al-fitnah (keburukan), sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘alahi wasallam, beliau berdoa,
“Dan jika Engkau menghendaki suatu fitnah (keburukan) bagi suatu kaum, cabutlah nyawaku dalam keadaan tidak tertimpa fitnah itu.”
Adapun dalam kondisi selamat dari al-fitnah (keburukan), doa memohon kematian tidak boleh. Nabi kita, Muhammad Shalallahu ‘alahi wasallam, bersabda, jangan sampai ada di antara kalian yang mengharap kematian lantaran suatu kerugian yang menimpanya. Bisa jadi dia berbuat kebaikan (jika tetap hidup), Yusuf yang mengharapkan kematian itu, dipanjatkan saat dia dalam pembaringan menjelang kematiannya.
Ini boleh dilakukan saat menjelang kematian, menurut kesepakatan ulama. Jika ternyata kedua arti tersebut sama-sama tidak tepat, mungkin saja memohon kematian diperbolehkan dalam syariat mereka.
Namun, dalam Islam tidak diperbolehkan mengharapkan kematian, kecuali jika khawatir tertimpa al-fitnah (keburukan), sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘alahi wasallam, beliau berdoa, “..dan jika Engkau menghendaki suatu fitnah (keburukan) bagi suatu kaum, cabutlah nyawaku dalam keadaan tidak tertimpa fitnah itu.”
Adapun dalam kondisi selamat dari al-fitnah (keburukan), doa memohon kematian tidak boleh. Nabi kita, Muhammad Shalallahu ‘alahi wasallam, bersabda, ‘jangan sampai ada di antara kalian yang mengharap kematian lantaran suatu kerugian yang menimpanya.
Bisa jadi dia berbuat kebaikan (jika tetap hidup), sehingga bertambah (amal baiknya). Dan, bisa jadi dia berbuat keburukan, sehingga barangkali dia bertobat. Maka, hendaknya dia berdoa, `Ya Allah, hidupkanlah aku selama hidup itu lebih baik bagiku, dan matikanlah aku selama kematian itu lebih baik bagiku.”
BACA JUGA: Nabi Musa dan Sebuah Kisah Sapi Betina (1)
Tatkala Yusuf a.s. menginjak usia 120 tahun, dia duduk di atas pembaringan menjelang kematiannya; Yusuf a.s. berwasiat kepada Bani Israil agar mereka membawa jasadnya bersama mereka apabila mereka keluar dari Mesir. Lalu, mereka memakamkannya di sisi para leluhurnya, yaitu Ibrahim, Ishaq, dan Ya`qub. Ketika Yusuf wafat, mereka pun mengawetkannya dan menaruhnya di dalam tabut (peti).
Jenazahnya pun tetap berada di Mesir sampai Musa a.s. mengeluarkannya bersamanya, tatkala Firaun dan bala tentaranya mengeluarkan Musa dan Bani Israil dari Mesir. Musa pun memakamkannya di sisi para leluhurnya, dalam rangka melaksanakan wasiatnya. Inilah yang akan kita baca dalam kisah selanjutnya. []
Sumber: Dialog Malaikat Maut dengan Para Nabi a.s./Karya: Dr. Mustofa Murod/Penerbit: Noura books/2014