Oleh: Rahman Wahid
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia jurusan S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Bagi penggemar novel tentunya tidak asing dengan kalimat “menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Ya, ungkapan yang digaungkan oleh salah satu sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer itu telah mengilhami banyak orang. Diantaranya adalah penulis sendiri, yang begitu terobesi dengan ungkapan Pram tadi.
Menulis bagi sebagian orang dianggap sebagai hal yang membosankan, menjenuhkan, dan bahkan dianggap buang–buang waktu. Tapi yakinlah ada seribu satu keajaiban di balik aktifitas menulis. Menulis bisa berangkat dari minat seseorang. Motivasi menulis juga bisa datang dari perasaan, baik itu sedih, senang, jenuh, takut, dan apapun itu.
Menulis adalah passion. Menulis itu tidak bisa dipaksakan, menulis itu tulus dari hati, menulis itu demi aku, kamu, dia, mereka, dan kita. Menulis memang tidak bisa dipaksakan, tapi menulispun bisa hadir dalam keadaan terdesak. Kita tahu Wiji Thukul, dengan rajinnya ia menulis puisi–puisi perjuangan, menginspirasi kawula muda, mencerdaskan kehidupan bangsa, tatkala ia diburu dan diancam oleh rezim orde baru.
Seorang pemberani bukan hanya seorang yang jago karate, silat, tinju, atau smackdown. Seorang pemberani sejati adalah seseorang yang rela mengorbankan keselamatan dirinya untuk kepentingan umat. Disanalah peran penulis–penulis amat besar perannya. Mereka berani mengeluarkan gagasan–gagasan penting walaupun nyawa sebagai gantinya, hanya agar orang – orang yang membaca tulisannya dan merasa tertindas oleh mereka yang dzalim berani membusungkan badan, mengangkat senjata dan menyatakan perlawanan.
Tentu pencerdasan adalah tujuan utama penulis berkarya. Penulis berhati mulia adalah sebaik–baiknya manusia. Merekalah manusia yang bekerja untuk keabadian, merekalah orang–orang yang layak kita mohonkan kepada tuhan untuk dimasukan kedalam surganya. Penulis berhati mulia, segala karya yang diciptakannya berdasar untuk kepentingan umat, baik untuk masa dimana ia hidup dan dimana ia telah tiada.
Ilmu itu ada untuk diwariskan, ilmu itu ada untuk diajarkan, dan ilmu itu ada untuk dituliskan. Seseorang yang berilmu belum tentu seorang penulis, tetapi seorang penulis pastilah seseorang yang berilmu. Itu berarti bahwa orang yang menulis adalah orang yang berilmu, dimana ia paham dan sadar bahwa ilmu yang ia miliki bukan saja untuk dihabiskannya sendirian, dan tentunya ada hak orang lain juga untuk mengetahuinya. Jelaslah sudah perbedaan derajat orang yang menulis dan tidak menulis.
Jangan takut menulis. Jangan takut dibilang “halah tulisanmu ndak berbobot”, jawab saja dengan senyum manis “tak apa, ini hanya permulaan”. Takutlah jika kamu tidak bisa memanfaatkan ilmu yang kamu punya untuk kepentingan orang lain. Memang menulis itu perlu proses, tidak bisa sekali nulis langsung mahir, jago, lalu tulisanmu muncul diberbagai media cetak dan online, bahkan sampai diterbitkan penerbit kelas kakap. That’s Impossible !.
Setiap penulis terkemukapun memulai kariernya dari bawah, amat bawah. Mereka merangkak, sedikit demi sedikit menanjak. Kadangpun ada yang mencela disetiap langkahnya, mereka memandangnya sebagai kritikan membangun, dan dari sana mereka paham bahwa menulispun adalah suatu perjuangan. Ya, perjuangan untuk suatu kebaikan memang selalu menemui rintangan yang terjal.
Terpenting dari menulis adalah niat. Apa niat sebenarnya ketika kita menulis? apakah hanya sekedar menuruti hobi? mengejar popularitas? faktor uangkah? atau menulis untuk menebar manfaat bagi orang banyak? Niat yang baik tentu akan menghasilkan tulisan yang baik pula.
Mulailah menulis, walaupun hanya mampu satu kata. Ingatlah, menulis adalah proses, yang terpenting adalah esensinya. Dari satu kata, akan menjadi satu kalimat, dari satu kalimat akan menjadi satu paragraf dan seterusnya sampai mahir dan handal menulis beribu-ribu halaman. Tidak ada yang tidak mungkin, karena proses tidak akan mengkhianati hasil.
Perlu diperhatikan bahwa menulis sendiri tidak bisa lepas dari aktifitas membaca. Membaca tentunya dapat mempengaruhi kualitas dan gaya tulisan kita. Perlu dicatat pula bahwa apa yang harus kita baca bukan hanya sebatas teks semata, namun juga konteks. Membaca juga bukan sekedar pandai membaca wacana, namun juga pandai membaca realita.
Pemahaman yang penuh terhadap bacaan menjadikan kita dalam menulispun menjadi penuh pertimbangan. Bahwa jangan sampai apa yang kita tulis tidak bernilai manfaat untuk orang lain, dan bahkan untuk diri kita sendiri.
Sama dengan membaca, menulis adalah aktifitas yang egaliter. Semua mempunyai hak yang sama dalam menulis. Jangan sampai ada diskriminasi dalam menulis, tentu saja alasannya karena menulis itu unik. Ya, sama dengan manusia si pencipta tulisan itu sendiri, yang juga unik dan tidak mungkin ada kembar identik.
Menulislah dengan penuh tanggungjawab, pastikanlah bahwa niat kita menulis adalah untuk kebaikan. Jauhkanlah pikiran bahwa apa yang kita tulis adalah sia–sia belaka. Yakinlah dari niat yang baik akan tercapai hasil yang baik pula. Satu hal lagi, yakinlah bahwa tulisan kita akan menjadi amalan jariyah bagi kita yang tak ada putus–putusnya, bermanfaat bagi umat, dan dari situlah dirimu akan menjadi abadi di dunia ini. []