Oleh: Muhaimin Iqbal
Seorang ibu yang janda berhasil membangun jaringan toko roti besar. Dia ingin tiga anaknya lebih membesarkan lagi jaringan toko roti tersebut dengan menyekolahkan anak-anaknya di perguruan tinggi- perguruan tinggi terbaik. Ada yang belajar teknologi per-roti-an, ada yang belajar keuangan dan ada yang belajar bisnis. Tetapi ketika si ibu sudah menyerahkan pengelolaan usaha ke tiga anaknya, jaringan toko roti tersebut malah mati. Mengapa ini bisa terjadi ?
Perguruan tinggi-perguruan tinggi tempat anaknya meraih ilmu-ilmu tersebut – sebagaimana perguruan tinggi pada umumnya – hanya mengajarkan ilmu, tetapi justru tidak mengajarkan hal-hal yang membuat toko roti si ibu bisa tumbuh besar sebelumnya. Apa yang dimiliki si ibu yang tidak diajarkan oleh perguruan tinggi ini ? saya menyebutnya si ibu memiliki 5 K.
“K” pertama adalah Karakter, sesuatu yang unique yang dimiliki si ibu dengan jaringan toko rotinya. Karakter terbentuk di lapangan bersamaan dengan diimplementasikannya Visi, Misi, Strategi, Operasionalisasi/Aksi dan budaya yang dibangun si ibu untuk jaringan toko rotinya.
“K” kedua adalah Komitmen, menyangkut keseriusan si ibu dalam memenuhi harapan para pembeli rotinya. Komitmen bisa diwujudkan dalam standar ukuran, rasa, ketersediaan, harga dlsb. Dengan Komitmen inilah misalnya para pelanggan bisa mengandalkan bahwa kalau beli roti dari si ibu pasti enaknya, pasti ukurannya tidak dikurangi, pasti harganya wajar, pasti stok tersedia di jam operasi toko-tokonya dan seterusnya.
BACA JUGA: Belajar Memaafkan
“K” ketiga adalah Keyakinan, dengan inilah si ibu melangkah di awal usahanya. Dia yakin bahwa rotinya enak, dia yakin bahwa diluar sana orang lain juga akan menganggap rotinya enak, dia yakin orang mau membelinya, dia yakin harga rotinya wajar sehingga para pembeli memperoleh value for money-nya dan seterusnya.
“K” keempat adalah Kepatutan, ini bukan masalah benar atau salah, tetapi patut atau tidak patut. Kepatutan adalah memberi sesuai kebutuhan, meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dengan Kepatutan inilah si ibu melayani para pelanggannya, dengan Kepatutan ini pula si ibu menentukan ukuran roti, menentukan harga sampai menentukan di mana rotinya dijual, dikemas dengan kemasan seperti apa dan lain sebagainya.
“K” kelima adalah Keberanian, dari sinilah si ibu memulai usahanya yaitu mulai dari Keberanian untuk mulai. Sekali melangkah dengan Keberanian, si ibu akan cenderung memiliki Keberanian untuk meneruskan langkah-langkah berikutnya. Orang yang memiliki Keberanian adalah orang yang bisa sampai ke mana saja, orang yang tidak memiliki keberanian tidak ke mana-mana.
Di mana Anda bisa belajar tentang 5 K tersebut ? yang jelas tidak di perguruan tinggi, tetapi bukan berarti perguruan tinggi lantas menjadi tidak perlu. Perguruan tinggi perlu, hanya tidak cukup. Demikian pula ilmu-ilmu kehidupan ini, perlu kita pelajari – tetapi ilmu saja tidak cukup.
Ulama dahulu memberikan panduan “…belajarlah ilmu yang menjadi dasar amal…”. Maka seperti yang dilakukan oleh si ibu dalam contoh tersebut di atas. Tentu awalnya dia perlu ilmu cara membuat roti, tetapi amal dialah yang kemudian menjadikan roti dia enak, unique dan menemukan penggemarnya sendiri.
Seandainya si ibu hanya belajar membuat roti tetapi tidak membangun amal yang kemudian menjadikannya memilikiskills – ketrampilan membuat roti yang enak, maka dari awal toko rotinya tidak akan terbentuk.
Ketiga anaknya yang memiliki ilmu yang cukup, tetapi gagal meneruskan usaha si ibu apalagi membesarkannya – ya karena si anak hanya memiliki ilmu tetapi tidak berhasil membangun skills yang membuat mereka sampai memiliki 5 K seperti yang dimiliki oleh ibunya.
Barangkali karena ketiadaan pendidikan atau pelatihan 5 K inipula yang membuat negeri ini seperti kondisinya sekarang. Negeri dengan sumber alam terbaik dan perguruan tinggi – perguruan tinggi pertanian terbaik, tetapi neraca perdagangan pangan kita malah deficit US$ 9.2 Milyar. Dari beras, jagung, kedelai, gandum, daging sampai susu kita impor dalam jumlah yang besar.
Kita memiliki perguruan tinggi-perguruan tinggi ekonomi terbaik, tetapi dengan standar kemiskinan US$ 2 per hari, menurut McKinsey hampir separuh penduduk kita berada di bawah garis kemiskinan tersebut. Ini lebih buruk dari dari Sudan yang 44% penduduknya di bawah garis kemiskinan US$ 2/hari, dan lebih buruk dari Vietnam yang 43 % penduduknya di bawah standar garis kemiskinan yang sama.
Kita memiliki perguruan tinggi-perguruan tinggi teknologi terbaik, tetapi setelah 67 tahun pasca kemerdekaan sebagian besar produk teknologi yang kita pakai masih harus diimpor. Dari komputer, mobil sampai handphone, dari mesin-mesin industri sampai mainan anak.
Insyaallah kita akan menjadi kekuatan ekonomi besar, konon akan menjadi no 7 terbesar di dunia tahun 2030 – tetapi ini hanya terjadi bila kita bisa menumbuhkan tenaga terampil yang mampu meningkatkan produktifitas rata-rata kita 60 % di atas produktifitas rata-rata saat ini.
Untuk membesarkan ekonomi negeri ini, yang dibutuhkan adalah sama dengan si ibu yang akan membesarkan toko rotinya tersebut di atas. Negeri ini butuh 5 K, yaitu keterampilan atau skills yang berasal dari ilmu yang menjadi dasar untuk amal atau amal yang didasari oleh ilmu.
Bila itu semua belum bisa diberikan oleh perguruan tinggi-perguruan tinggi terbaik kita, maka memang perlu segera dicarikan jawaban atau solusinya. Agar tidak lagi hampir separuh penduduk negeri ini jatuh dibawah garis kemiskinan US$ 2/hari; agar kita berhenti menggantungkan kebutuhan pangan kita pada impor dari negeri lain, agar kita mampu memproduksi produk-produk berbasis teknologi yang semakin hari semakin banyak kita perlukan – dan agar- agar yang lain. InsyaAllah.