BOGOR– Kegiatan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) sudah berlangsung tiga hari dari keseluruhan short-course yang berlangsung selama sepuluh hari.
Salah satu materi kunci dalam kursus singkat SKK ASM ini adalah membicarakan persoalan Islam dan Pancasila. Hadir sebagai narasumber pada isu ini adalah mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, seorang cendekiawan yang selama ini menekuni berbagai aspek mengenai Pancasila, yakni Yudi Latif, Ph.D.
Di depan anak-anak peserta kursus singkat Yudi Latif, memberikan perspektif baru dalam membaca Pancasila. Pancasila sebagai dasar Negara, menurutnya, selama ini sering dipandang secara kaku dan teralienasi dari generasi hari ini.
Yudi menegaskan, “penanaman nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda, perlu dilakukan secara lebih kreatif dan interaktif agar dasar berbangsa dan bernegara itu tak lekang oleh zaman”.
Di sisi lain, dia mengingatkan bahwa setiap generasi memerlukan pemahaman Pancasila seutuhnya.
“Pancasila, merupakan titik temu, titik pijak, sekaligus titik tuju dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika warna-warna Indonesia tidak memiliki alat pemersatu, maka masa depan bangsa Indonesia menjadi kabur dan tidak jelas arah dan tujuannya,” paparnya pada kegiatan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (22/7).
Dalam kesempatan itu, Yudi, juga bercerita tentang sila pertama: Ketuhanan Yang Maha-esa. Menurutnya, titik penting dari berketuhanan cara Indonesia adalah berketuhanan dengan beradab dengan kebudayaan, berketuhanan yang tidak egois sambil menyalah-nyalahkan Tuhan dan agama orang lain.
Di tengah gonjang-ganjing isu kebhinekaan, toleransi, perpecahan, dan NKRI, apa yang dikatakan Yudi Latif menjadi sangat relevan sebagai jawaban untuk persoalan bangsa. prinsip-prinsip dasar negara Indonesia merdeka tidak dipungut dari udara, melainkan dari dalam bumi sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. []