Ngomongin kesehatan, teringat sebuah hadits Nabi, “Barang siapa membuka praktek kedokteran, padahal bukan ahlinya, maka wajib bertanggung jawab atas seluruh kerugian.” (HR. An-Nasa’i). Hikmah hadits di atas mungkin jelas adanya. Islam sangat memperhatikan “kelayakan”, “kapabilitas” setiap manusia sebelum diberikan tanggung jawab.
Gak jarang kan, orang yang jadi korban malpraktek, atau bahkan kena tipu tabib-tabib palsu (dokter bo’ongan). Kalau kita sakit, kita bakal serahin diri kita buat ditangani dokter, dokter beneran yang punya izin pastinya. Kalau kocek dalem, mungkin akan pilih para specialist.
BACA JUGA: Rezeki dan Ajal: 2 Ujian Keimanan
Nowadays, buat sebagian millenial, menjadi jadwal wajib “cek kesehatan” meski badan gak ngerasa kesakitan. Kita selalu punya obsesi agar kenikmatan hidup bisa kita maksimalkan.
Kita akan mati, itu pasti. Satu hari kita akan hembuskan nafas pamungkas, meski sudah ditangani dokter beneran, atau dokter bo’ongan, atau tanpa penanganan, tanpa ada perkiraan.
Mati kita mungkin akan menyisakan senyum buat rival, ataupun orang yang banyak kita sakiti. Cucuran air mata bagi sanak, teman; orang-orang yang hanya melihat sisi baik kita, ataupun orang yang sudah membuka hatinya merelakan kelaliman kita. Semuanya akan kita tinggalkan, apapun kesan mereka.
BACA JUGA: Lisan Cermin Iman
Setelahnya, kita tak akan peduli lagi dengan yang kita tinggalkan; tak akan memikirkan untuk menuntut si dokter bo’ongan. Ada urusan maha besar, maha panjang, yang butuh banyak bekal, sementara waktu mengumpulkan bekal sudah kita habiskan tanpa bisa dimaksimalkan.
Ironis, bahwa di sana kita akan tersadar, kita sibuk mengusahakan perpanjangan waktu hidup buat 20, 30, 40 tahun ke depan, sampai akhirnya mati di tangan dokter bo’ongan. Tetapi tak sempat sibuk berbekal buat hidup yang kekal. Penyesalan dalam diri berkepanjangan, “Kenapa dahulu tak rutin cek keimanan?” []
SUMBER: ISLAM BILANG