JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra meminta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk mengklarifikasi pidatonya di DPR RI pada Selasa (24/10/2017) kemarin.
Tjahjo berpidato dalam rangkaian agenda rapat paripurna DPR yang membahas pengesahan Perppu Ormas nomor 2 tahun 2017 saat itu.
Dalam pidato tersebut, Tjahjo menyampaikan dua poin terkait pengesahan Perppu Ormas menjadi Undang-undang. Berikut penggalan pidato Tjahjo di hadapan anggota DPR dalam rapat paripurna,
“Pimpinan dan bapak ibu anggota dewan yang kami hormati, mohon izin kami tidak membacakan secara keseluruhan pandangan daripada pemerintah. Ada dua poin: Yang pertama, mencermati gelagat dan perkembangan dinamika yang ada, yang telah kami paparkan dan kami tayangkan dalam rapat kerja di komisi.
Dua, banyak dan ada ormas yang dalam aktivitasnya yang ternyata mengembangkan faham atau mengembangkan ideologi dan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan hal ini tidak termasuk dalam faham Atheisme, Komunisme, Leninisme, Marxisme yang berkembang cepat di Indonesia”.
“Kalimat-kalimat yang diucapkan Mendagri di atas mengandung makna ganda,” kata Yusril, Republika pada Kamis (26/10/2017) kemarin.
Makna pertama, banyak dan ada ormas yang ternyata mengembangkan paham, ideologi atau ajaran yg bertentangan dengan Pancasila. Organisasi ini berkembang cepat di Indonesia. Sedangkan makna kedua, bahwa paham atheisme, komunisme, leninisme dan marxisme yang juga mengembangkan paham, ideologi atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila, berkembang cepat di Indonesia.
“Mana di antara dua ini yang dimaksudkan Mendagri dalam pidatonya? Klarifikasi Mendagri, hemat saya, memang diperlukan untuk mencegah kesalahpahaman,” ungkapnya.
Yusril menambahkan, masing-masing makna tersebut mempunyai implikasi yang berbeda. Makna pertama, konsekuensinya Pemerintah harus menunjukkan organsisasi mana saja yang dikatakan “banyak dan ada” yang mengembangkan ajaran dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
“Selain Hizbut Tahrir Indonesia yang telah dicabut status badan hukumnya dan dibubarkan oleh Pemerintah,” lanjut dia.
Sedangkan makna kedua, bahwa paham atheisme, komunisme, leninisme dan marxisme, berkembang cepat di Indonesia. Ini berarti Pemerintah membenarkan sinyalemen beberapa tokoh seperti Kivlan Zen dan Taufiq Ismail yang mengatakan bahwa paham komunis kini hidup kembali di tanah air.
“Sementara paham itu dilarang oleh hukum positif Indonesia. Lantas mengapa Pemerintah membiarkannya?,” pungkasnya.[]