SETELAH enam tahun, Abul ‘Ash melakukan perjalanan dengan kafilah dari Makkah ke Suriah. Selama perjalanan, dia dicegat oleh beberapa sahabat Nabi. Dia melarikan diri dan menuju rumah Zainab. Dia mengetuk pintunya beberapa saat sebelum shalat shubuh. Zainah membuka pintu dan bertanya, “Apakah kau sudah menjadi seorang Muslim?”
Abul ‘Ash berbisik, “Tidak, aku datang sebagai buronan.”
Zainab memintanya sekali lagi, “Maukah kamu menjadi seorang Muslim?”
Sekali lagi jawabannya adalah negatif.
“Jangan khawatir,” Zainab berkata, “Selamat datang sepupu, selamat datang, ayah Ali dan Umamah.”
Setelah sholat shubuh berjamaah, Nabi SAW dan para sahabat mendengar suara dari belakang masjid, “Aku telah membebaskan Abul Ash.” Zainab telah memberi jaminan kepada Abul ‘Ash.
Nabi SAW bertanya pada para sahabat, “Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?”
Mereka semua berkata, “Ya, Rasulullah.”
Zainab berkata, “Dia adalah sepupuku dan ayah dari anak-anakku dan aku telah membebaskannya.”
Nabi SAW berdiri dan berkata, “Hai manusia, aku menyatakan bahwa orang ini adalah seorang menantu yang sangat baik, dia tidak pernah melanggar janjinya, dan dia juga tidak berbohong, jadi jika kau menerimanya, aku akan kembalikan tebusannya kembali dan membiarkan dia pergi. Jika engkau semua menolaknya, maka itu keputusanmu semua dan aku tidak akan menyalahkanmu karena itu.”
Para sahabat setuju, “Kami akan mengembalikan tebusannya.”
Kemudian Nabi (SAW) berkata kepada Zainab, “Kami telah membebaskan yang telah kamu bebaskan, wahai Zainab. Bermurah hati kepadanya, dia adalah sepupu dan ayah anak-anakmu, tapi jangan biarkan dia mendekatimu, dia dilarang untukmu.”
Zainab menjawab, “Tentu, ayah, aku akan melakukan apa yang kaukatakan.”
Zainab masuk dan memberi tahu suaminya, “O Abul ‘Ash, apa kau sama sekali tidak merindukan kami? Tidakkah kamu ingin menjadi menjadi seorang Muslim dan tinggal bersama kami?”
Tapi Abul Ash tetap menolak. Abul Ash kemudian mengambil uang itu dan kembali ke Makkah. Begitu dia kembali, dia berdiri dan mengumumkan pada orang-orang, “Wahai, orang-orang, ini adalah uang kalian, apa ada yang kurang?”
Mereka menjawab, “Tidak, Abul Ash, tidak ada yang kurang, terima kasih banyak.”
Abul ‘Ash berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul-Nya.”
Kemudian dia kembali ke Madinah dan berlari menemui Nabi SAW saat dia berkata, “Nabi yang terkasih, engkau membebaskanku kemarin, dan hari ini aku mengatakan bahwa aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan-Nya.”
Abul ‘Ash bertanya kepada Nabi, “Maukah engkau memberi aku izin untuk kembali ke Zainab?”
Nabi SAW tersenyum dan berkata, “Ikutlah denganku.”
Dia membawa Abul ‘Ash ke rumah Zainab dan mengetuk pintunya. Nabi (SAW) berkata, “Wahai Zainab, sepupumu mendatangiku dan bertanya apakah dia bisa kembali kepadamu?”
Sama seperti 20 tahun sebelumnya, wajah Zainab menjadi merah karena malu-malu dan dia tersenyum.
Yang menyedihkan adalah, setahun setelah kejadian ini, Zainab meninggal. Abul ‘Ash meneteskan air mata karena kematiannya dan membuat mereka yang berada di sekitarnya menangis. Rasulullah SAW datang dengan mata penuh air mata dan hati yang penuh duka cita. Kematian Zainab mengingatkannya akan kematian istrinya, Khadijah. Dia mengatakan kepada para wanita, yang mengurus mayat Zainab, “Mandikan dia tiga kali dan gunakan kapur barus di pemandian yang ketiga.”
Nabi melakukan shalat jenazah dan mengikuti tempat peristirahatan terakhir Zainab. Abul ‘Ash kembali kepada anak-anaknya, Ali dan Umamah. Mencium mereka dan membasahinya dengan air matanya, dia teringat wajah kekasihnya yang telah meninggal.
Semoga Allah berkenan dengan Zainab, anak perempuan Nabi! Semoga Dia membalasnya dengan surga karena kesabaran, daya tahan dan perjuangannya!
Abul ‘Ash akan menangis begitu deras sehingga orang-orang melihat Nabi sendiri menangis dan menenangkannya. Abul ‘Ash berkata, “Demi Allah, aku tidak tahan lagi hidup tanpa Zainab.”
Abul ‘Ash meninggal satu tahun setelah Zainab meninggal. []
HABIS