ZAKAT fitrah adalah zakat yang wajib ditunaikan seorang muslim yang telah memiliki kemampuan untuk menunaikannya. Zakat fitrah dikeluarkan sekali dalam setahun yaitu saat bulan Ramadhan.
Besar yang harus dikeluarkan adalah sebesar satu sha’ yang nilainya sama dengan 2,5 kilogram beras, gandum, kurma, sagu, dan sebagainya atau 3,5 liter beras yang disesuaikan dengan konsumsi per-orangan sehari-hari. Ketentuan ini didasarkan pada hadits sahih riwayat Imam Ahmad, Bukhari, Muslim dan Nasa’i dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah telah mewajibkan membayar membayar zakat fitrah satu sha’ kurma atau sha’ gandum kepada hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang dewasa dari kaum muslim.
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi hamba dan yang merdeka, bagi laki-laki dan perempuan, bagi anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar zakat tersebut ditunaikan sebelum manusia berangkat menuju shalat ‘ied.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari dan Muslim)
BACA JUGA: Zakat Fitrah Pakai Uang
Terkait zakat fitrah, ada perbedaan pendapat yang terjadi antara jumhur ulama yakni antara Mazhab Hanafiyah dengan tiga mazhab fiqih lainnya: Maliki, Syafii, Hanbali. Perbedaan ini terkait bagaimana teknis zakat fitrah itu dikerjakan.
Mazhab Hanafiyah merupakan satu-satunya mazhab yang membolehkan membayarnya dengan uang. Dikutip dari Global Zakat, peniliti dari Rumah Fiqih, Ustadz Ahmad Zarkasih Lc, mengatakan bahwa pendapat mazhab al-Hanafiyah yang membolehkan membayarnya dengan uang itu tidak diaminkan oleh mazhab lain.
Namun, terkait semua itu, banyak teks atau ibrah yang termaktub dalam kitab-kitab ulama mazhab masing-masing.
Pertama, teks dari Mazhab al-Hanafiyah yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang itu sebagai berikut.
Diceritakan dari Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah) bahwa bayar zakat fitrah dengan tepung itu lebih aku sukai daripada bayar dengan jelai, dan bayar dengan dirham (uang) lebih aku sukai daripada bayar dengan tepung atau juga dengan jelai; karena uang lebih bisa menyelesaikan hajatnya si fakir. (Bada’i al-Shana’i 2/72).
Kedua, mazhab al-Malikiyah tidak mengamini zakat dengan uang. Menurut mazhab ini, tidak sah kurang dari satu sha’ menurut kalangan ulama Madinah di antaranya Imam Malik dan juga selainnya, (zakat fitrah) berupa biji-bijian yang merupakan makanan pokok seluruhnya, tidak sah dengan tepung, bubuk juga roti … dan tidak (boleh) mengganti zakat dengan nilai (uang) menurut ahli Madinah, dan inilah pendapat yang sahih dari Imam Malik dan juga kebanyakan ulama al-Malikiyah.” (al-Kafi fi Fiqh Ahl Madinah 1/323).
Ketiga, mazhab al-Syafi’iyyah yang sama-sama menolak zakat fitrah dengan uang. Kadar yang diwajibkan adalah 5 1/3 rithl Baghdad, dari makanan pokok berupa biji-bijian dan juga buah. Tidak boleh dengan roti, tepung, dan juga tidak (boleh) mengeluarkannya dalam bentuk nilai dengan perak atau emas (al-Iqna’ lil-Mawardi 69).
Mazhab al-Hanabilah juga demikian. Menurut mazhab ini, siapa yang mampu mengeluarkannya berupa kurma, jelai atau gandum, atau kismis, atau juga aqith (jameed), tapi ia mengeluarkan selain yang tersebut, tidak sah zakat fitrahnya, dan (juga) siapa yang mengeluarkan nilai (uang)-nya tidak sah.” (Mukhtashar al-Khiraqi 48).
Ustadz Ahmad mengatakan, dalil jumhur dalam hal ini sangat nyata dan jelas di antaranya sesuai dengan teks-teks hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan zakat ini sangat nyata dan jelas menyebut jenis-jenis makanan pokok dalam haditsnya. Karena itu, jumhur ulama menyebut bahwa wajibnya zakat fitrah adalah makanan pokok sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.
Abi Said al-Khudhri pun meriwayatkan demikian. Ia berkata, “Kami mengeluarkan zakat fitrah ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu sha’ tha’aam (hinthah) atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ sya’ir, atau satu shaa’ zabib, atau satu shaa’ aqith. Dan aku terus mengeluarkan zakat fitrah sedemikian itu selama hidupku.” (HR jamaah–Nailul Authar).
Ustadz Ahmad mengatakan, terkait dengan hadits terakhir yang tersebut, ulama dari kalangan jumhur tidak ada yang mengatakan bahwa jenis-jenis itu saja yang wajib dizakati, sementara yang lain tidak boleh.
BACA JUGA: Zakat Fitrah dengan Uang di Musim Pandemi Covid-19
Ulama telah menghukumi bahwa selain yang disebutkan dalam hadits boleh dizakati. Syaratnya makanan pokok karena memang apa yang disebutkan dalam hadits di atas semuanya adalah makanan pokok. Dan bukan hanya makanan pokok, ia juga haruslah berupa biji-bijian atau buah-buahan.
Jadi, menurut dia, jika ada daging yang dijadikan makanan pokok, makanan itu tidak bisa dijadikan zakat fitrah karena sifatnya yang bukan biji-bijian atau buah-buahan. Begitu penjelasan ulama.
Dalam mazhab al-Syafi’iyyah khususnya untuk memudahkan dalam memahami jenis apa saja yang wajib dizakati, mereka menyebutnya dengan istilah al-mu’asysyarat, yakni “yang di-sepersepuluh-kan”.
Maksudnya, jenis yang dibayarkan dalam zakat fitrah adalah jenis biji-bijian dan buah-buah yang merupakan makanan pokok, yang mana itu semua terkena kewajiban zakat buah dan biji-bijian yang memang dalam syariat dikenakan 1/10 atau 10 persen. Karena memang yang disebutkan dalam hadits itu juga semuanya adalah hasil bumi yang wajib dizakati. (kifayatul-akhyar fashl zakat fitrah). []