Ziarah kubur boleh kita lakukan. Sebab, dengan ziarah bisa menadi pelajaran bagi kita untuk mengingat kematian.
MANUSIA yang telah wafat, dalam Islam itu dikubur. Hal ini menggambarkan bahwa manusia yang berasal dari tanah pasti akan kembali ke dalam tanah pula. Maka, tak patut bagi kita untuk menyombongkan diri selama hidup di dunia. Sebab, apapun yang kita miliki di dunia ini hanyalah sementara. Dan ketika saatnya tiba ajal menjemput, semua itu tak berarti apa-apa.
Berbicara mengenai kubur, tentu kematian itu tiba pada saat yang berbeda-beda. Setiap manusia mempunyai masanya tersendiri. Sama halnya seperti ia terlahir ke muka bumi, berbeda pula bukan? Ya, maka ketika ada saudara yang telah wafat lebih dahulu, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengurusnya, dari mulai memandikan hingga menguburnya.
BACA JUGA: 9 Adab Ziarah Kubur yang Jarang Diketahui
Selang waktu berlalu dari meninggalnya saudara segama kita, biasanya banyak orang yang melakukan ziarah kubur. Terutama di saat menjelang bulan Ramadhan ini. Banyak orang yang hadir untuk berziarah ke makam sanak saudaranya. Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini ya?
Ziarah ke kuburan hukumnya sunat (mustahab). Tujuannya untuk mengambil pengajaran dan i’tibar, mengingat mati dan peristiwa-peristiwa akhirat, serta berdoa untuk kaum muslimin yang telah meninggal.
Di dalam hadis yang mulia disebutkan, “Semula aku melarang kamu menziarahi kubur. Kini Muhammad ﷺ telah diizinkan menziarahi kuur ibunya. Maka ziarah pulalah kamu, karena menziarahi kubur mengingatkan kepada akhirat,” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
BACA JUGA: Ini Tak Boleh Dilakukan ketika Ziarah Kubur
Rasulullah ﷺ pernah pula menziarahi kuburan para syuhada Uhud dan kuburan kaum muslimin di Baqi’. Beliau mengucapkan salam dan mendoakan ahli kubur tersebut dengan ucapan beliau, “Berbahagialah kamu hai ahli kubur yang mukmin dan muslim. Kami insya Allah akan menyusul kamu semua. Kami memohonkan doa kepada Allah semoga Dia melimpahkan kesejahteraan bagi kami dan bagi kamu semua,” (HR. Muslim, Ahmad dan Ibn Majah). []
Referensi: Fiqih Perempuan/Karya: Muhammad ‘Athiyah Khumais/Penerbit: Media Da’wah