Oleh: Newisha Alifa
newishaalifa@gmail.com
SEBELUMÂ membaca tulisan ini, sebaiknya hapus pikiran, “Yang nulisnya kaya nggak pernah bikin dosa aja?”
Atau ungkapan nyinyir lainnya, “Deuuu, manusia yang udah suci, bisanya ngebahas aib orang mulu.”
Ya Allah …
Tahu nggak sih, kalau dalam Islam itu ada yang namanya amar ma’ruf nahi munkar. Menegakkan kebaikan/kebenaran dan membasmi kemunkaran/kemaksiatan.
Seseorang yang membahas tentang kelakuan buruk orang lain, nggak selalu berarti dia lalai dalam membenahi dirinya. Terus maunya gimana? Orang yang mengetahui suatu keburukan telah terjadi, harus diam saja gitu? Dengan alasan tadi, “Ngapain ngurusin aib orang lain, aib gue juga masih banyak.”
Subhanallah! Konteksnya gimana dulu?
BACA JUGA:Â Neng, Baju sama Celananya Kurang Bahan?
Jika seseorang telah berbuat dosa, ini ada dua kemungkinan; dia taubat atau lanjut maksiat.
Bagi seorang pendosa yang telah menyadari kesalahannya, kemudian sungguh-sungguh bertaubat, maka kita yang pernah tahu aibnya WAJIB MENUTUPINYA. Jangan ngorek-ngorek lagi. Misal nih, kita punya teman perempuan yang dulunya belum berhijab, bahkan sering mengenakan baju seksi, tapi sekarang sudah memutuskan untuk hijrah. Dia sudah berhijab. Lah, kita jangan ungkit-ungkit lagi dulu dia gimana. Bahkan posting foto bareng, saat dia belum berhijab dulu pun, jangan!
Tapi … Tapi nehhh …
Kalau ada seseorang berzina, lalu dia dikucilkan sama masyarakat, kita jangan juga langsung nge-judge orang-orang itu sok suci. Karena kalau masyarakat masih reaktif sama orang yang ketahuan berzina, itu tandanya masih ada IMAN di lingkungan tersebut. Wahhh, kalo dalam suatu lingkungan, entah tempat tinggal, kampus atau dunia kerja, adem ayem aja tahu ada pelaku zina di sekitarnya, apa kata akhirat?
Setidaknya saya punya 4 teman perempuan yang terperosok ke perzinahan.
Satu di antaranya, menampakkan sekali penyesalannya. Mengerti bahwa dijauhinya ia oleh orang banyak, adalah bagian dari sanksi sosial. Atau kalau di pelajaran PPKn dulu namanya; hukum norma yang berlaku di masyarakat. Ia sibuk menyesali perbuatannya, bertaubat, berusaha memperbaiki diri serta mempersiapkan masa depan putranya. Kalau menghadapi yang seperti itu mah, kita kudu dukung. Jangan ditinggalin.
Di sini baru berlaku kata-kata mutiara, “Nggak ada manusia sempurna” atau “Setiap orang pasti punya kekurangan atau masa lalu yang buruk”.
BACA JUGA:Â Jika Saya Itu Kamu
Yang satunya lagi, tenggelam dalam kesedihan. Mungkin karena nggak sampe hamil, jadi nggak banyak orang tahu. Saya tahu, karena dia curhat dan minta pendapat saya. Saya juga nggak cerita sama teman-teman terdekat kami bahwa si X sudah begini, begitu.
Aibnya masih ditutupi Allah, moso yang sesama manusia, mau ngumbar-ngumbar sesamanya? Tapi saya milih menjauh dan menjaga jarak. Soalnya udah diingetin supaya nggak pacaran lagi sama tu laki-laki, dia bilang nggak bisa. Udah kadung cinta banget katanya! Innalillah! Musibah banget ini. Nggak tahu deh, sekarang gimana kabarnya.
Dannnn … Dua sisanya, yang lambat laun ketahuan sama orang-orang sekitar bahwa sudah hamil di luar nikah, malah bersikap sangar menghadapi sanksi sosial yang diterimanya.
Namanya mulut orang kan beda-beda, Saudara-saudari. Ada yang ember. Nggak bisa nemu orang punya aib atau kekurangan dikit, langsung nyebar ke mana-mana. Bahkan sekalipun aib itu sifatnya baru prasangka.
Nah dua gadis ini nggak terima jadi bahan gunjingan. Yang satu update di medsos, “Urusin aja dosa lo-lo pada, nggak usah ngurusin orang lain! Kaya udah pada bener aja lo semua!”
Yang satu lagi malah nyamperin tetangga, mencak-mencak nggak karuan. Petantang-petenteng seolah-olah nggak bakal membutuhkan bantuan orang lain di lingkungan tempat tinggalnya.
Apa menghadapi orang-orang seperti ini, kita mesti diam, seperti pada kasus gadis pertama yang bertaubat? Perutnya sudah memblendung, dia sendiri udah nggak bisa menutupi aibnya toh. Jangan nuntut orang lain untuk menutupi aibnya lah. Subhanallah!
Kalau hari ini ada orang-orang yang mengingatkan tanpa menyebutkan nama, itu In Syaa Allah niatnya untuk mengingatkan orang lain, tentang bahaya zina. Di dunia baru begitu dikucilkannya, entah kalo nggak tobat, gimana nasibnya di akhirat? Iya benar, itu urusan dia sama Allah. Tapi kita yang diam saja melihat kemaksiatan ada di sekitar saja, dikata kagak lepas pertanggungjawaban entar di akhirat?
Jangan berhenti pada pemikiran, “Gue udah sholat, udah ngaji, udah puasa, bahkan udah berangkat haji. Gue nggak mau ngurusin orang lainlah.”
Hellowww … kalau kita lahir ke dunia buat begitu mah, para Nabi dan Rasul nggak bakalan diutus buat nyampein perintah Allah ke kaum dan umatnya, kaliii, Brow and Sis!
Nabi Muhammad SAW mah kalau mikirin dirinya sendiri, udah masuk surga cuma sama sesama nabi dan rasul aja. Lah kita umatnya kagak tahu dah. Ckckckckck … Allah tidak menghadirkan manusia ke dunia untuk bersikap seegois itu pada sesamanya keleusss.
Maka biasakan tenang dulu kalau membaca sebuah nasehat atau kritikan. Jangan langsung nge-gas, kemudian hanya mengambil kesimpulan dari sudut yang negatif saja. Yang menolak kebenaran itu sombong, sombong gayanya setan. Jangan-jangan emang setan yang bisikin, “Halah, gak usah didengerin, kaya dia udah bener aja. Masih begini, begitu juga.” Buru-buru deh baca ta’awudz!
BACA JUGA:Â Yakin, Berita yang Kamu Share Itu Valid?
Ohya, secara kasat mata zina memang tidak merugikan orang lain. Beda seperti mencuri atau membunuh. Tapi dengan dikategorikannya zina sebagai salah satu dosa besar, harusnya kita wondering, “pasti efeknya serius nih sampai tergolong sebagai dosa besar.”
Zina itu bukan cuma urusan pribadi si pelakunya saja. Tapi kedua keluarga yang akan menanggung malu. Terus anak dari hasil zina, yang meskipun terlahir suci, akan ada aja yang kebagian getah perbuatan orang tuanya dulu dan dilabeli, ‘anak haram’ sama orang lain.
Efeknya ke masyarakat apa?
Ya urusan akhlak lah. Ngaruhnya ke peradaban sebuah generasi. Kalau kita termasuk ke golongan yang masa bodoh, bahkan di tahap mewajarkan atau melumrahkan kegiatan perzinahan, tanpa disadari kita sudah ikut mendukung kebobrokan suatu bangsa. Na’udzubillahimindzalik.
Wallahu A’lam bisshowab. []