TANYA: Mayoritas yang diceritakan tentang zuhud adalah orang-orang miskin sehingga mereka qana’ah dengan apa yang mereka miliki. Lalu bagaimana zuhudnya orang kaya? Apakah orang yang punya banyak harta dan selalu membeli materi boleh dikatakan orang yang tidak zuhud?
JAWAB: Zuhudnya orang kaya adalah dengan cara tidak menjadikan kekayaannya sebagai kebanggaan dan cita-citanya yang tertinggi. Dengan cara menggunakan kekayaan tersebut seperlunya saja, selebihnya digunakan untuk menolong orang lain, bersedekah, menolong agama Allah serta meninggikan kalimat Allah di atas muka bumi.
Syaikh Abdurrahman Ad-Dausiri mengatakan:
“Zuhud itu dengan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, dan tidak menjadikan dunia mengalahkan cita-cita akhiratnya sehingga ia lebih memilih untuk selalu bekerja siang malam untuk membanggakan harta dan berlomba dalam memperbanyak harta.
BACA JUGA: Zuhud, Ini 3 Tingkatannya
Namun kesudahan dari aktivitas kerjanya adalah untuk menolong agama Allah dan mengutamakan kepentingan akhirat. Yang dengan itu semua ia bisa merealisasikan jihad di jalan Allah serta memperbaiki hubungan baik antara dia dengan Allah dan dengan sesama makhluk.
Dan tidaklah zuhud itu dengan cara menyingkir dari bekerja dan menjauh dari kehidupan lalu beralih menuju kehidupan kerahiban yang merupakan produk gagal ajaran para penyembah berhala.
Yang seperti ini tidak layak disebut zuhud, namun ia adalah kepengecutan dan cerminan dari kerdil dan lemahnya jiwa, serta menelantarkan potensi-potensi kemanusiaan.
Perilaku seperti ini merupakan bid’ah yang buruk, yang memperlambat kaum muslimin dari kemajuan, serta memperlambat proses mendekatnya mereka kepada risalah dan agama mereka, sehingga para pengikut kebatilan akan dengan mudah menyerang kaum muslimin di negri mereka serta meluluh-lantakannya.” (Al-Ajwibah Al-Muhimmah Limuhimmatil ‘Aqidah : 1/74).
Adapun mengenai mayoritas orang zuhud adalah orang miskin yang terjebak dalam kemiskinan sehingga ia ridha atasnya, maka ini tidak benar. Karena di sana ada banyak para nabi, para sahabat, orang-orang yang shalih, yang sebenarnya sangat mudah mendapatkan kekayaan. Namun mereka lebih memilih menginfakkan hartanya karena takut terfitnah oleh harta tersebut.
Jadi tidak semua yang miskin itu karena tidak mampu menjadi orang kaya, ada di antara mereka yang mampu, dan memiliki peluang besar menjadi orang kaya. Tapi mereka tidak mengambil peluang tersebut karena takut terfitnah oleh harta. Seperti Abu Bakar yang menginfakkaan seluruh hartanya, seperti Utsman yang kaya raya tapi lebih memilih hidup sederhana, seperti Abu Dzar Al-Ghifari yang menolak menerima jabatan. Dan di zaman sekarang kita mendengar Syaikh Ar-Rajihi salah satu orang terkaya di Saudi yang menginfakkan seluruh hartanya. Itu mereka lakukan karena takut terfitnah harta, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya pada setiap umat itu ada fitnahnya, dan sesungguhnya fitnahnya umatku (umat islam) ada di dalam harta.” (HR. Ahmad : 17471).
Namun demikian seperti penjelasan Syaikh Abdurrahman di atas, zuhud tidak identik dengan kemiskinan atau tampil sederhana. Karena hakikat zuhud itu ada di dalam hati, sehingga sangat mungkin orang kaya menyandang predikat zuhud. Dengan cara menjauhi hal-hal yang haram, menjadikan hartanya sebagai potensi untuk senantiasa menolong agama Allah SWT:
إذا كان قلبه غير معلق بالدنيا فإن هذا من أعظم الزهد.
وقد مرت على الأمة فترة من الفترات ظن الكثير أن الزهد يتعلق بالظاهر، فإذا لبس الإنسان ثوباً خشناً، أو كان الإنسان بعيداً عن الملابس الغالية أو الأشياء الغالية في بيته أو في أي مكان اعتبروا ذلك من الزهد، وهذا مظهر وليس بأساس في الزهد ولا في حقيقة الزهد، فحقيقة الزهد هو زهد القلب، فإذا زهد القلب في الحرام فإنه يترتب عليه عدم التعلق بالدنيا.
“Inilah hakikat zuhud, maka zuhud itu bukan dengan mengenakan pakaian yang kasar/jelek, zuhud bukan dengan sedikit makan, zuhud bukan dilihat dari tampilan luar. Akan tetapi pondasi zuhud ialah zuhudnya hati. Apabila manusia hatinya tidak tergantung dengan dunia maka inilah zuhud yang paling agung.
Dan telah berlalu dalam sejarah umat ini satu zaman di antara zaman-zaman yang ada ketika itu banyak manusia menyangka bahwasanya zuhud itu berkaitan dengan tampilan luar. Jika manusia memakai pakaian yang kasar lagi jelek atau ketika manusia menjauh dari pakaian yang mahal lagi indah dan perabotan indah di rumahnya atau di lokasi lain, mereka lantas menganggap perilaku ini sebagai cerminan zuhud.
Ini bukanlah cerminan zuhud, bukan pula pondasi zuhud, bukan pula hakikat zuhud. Hakikat zuhud yang sebenarnya ialah zuhud hati, apabila hati merasa zuhud/menyingkir dari keharaman, maka akan berimbas pada hilangnya ketergantungan hati kepada dunia.” (Dirasah Madhu’iyyah Lil Haa’iyyah, Wa Lum’atil I’tiqad Wal Wasitiyyah : 5/5).
BACA JUGA: Ummu Hasan, Muslimah yang Cerdas dan Zuhud
Demikian pula Imam Ath-Thibbi berkomentar tentang zuhud ini :
هذا رد على من زعم أن الزهد في مجرد ترك الدنيا ولبس الخشن وأكل الجشب، أي: ليس حقيقة الزهد ما زعمته، بل حقيقته أن تأكل الحلال، وتلبس الحلال، وتقنع بالكفاف، وتقصر الأمل، ونحوه قوله – صلى الله تعالى عليه وسلم -: ” «الزهادة في الدنيا ليست بتحريم الحلال ولا بإضاعة المال، ولكن الزهادة في الدنيا بأن لا تكون بما في يديك أوثق بما في أيدي الناس»
“Ini merupakan bantahan bagi orang yang menyangka bahwa zuhud sekedar meninggalkan dunia, mengenakan pakaian kasar, makan makanan yang sederhana. Maksud dari atsar di atas adalah hakikat zuhud tidak seperti yang engkau sangka.
Namun hakikat zuhud ialah dengan hanya memakan makanan yang halal, mengenakan pakaian yang halal, merasa cukup, tidak ambisius dan yang lainnya senada dengan sabda Nabi SAW, Zuhud di dunia bukan dengan mengharamkan yang halal, atau dengan membuang harta, tapi zuhud itu dengan tidak menjadikan apa yang ada di tanganmu lebih kuat dari apa yang ada di tangan manusia (dermawan kepada manusia). (Mirqatul Mafatih : 8/3305). []
SUMBER: BIMBINGAN ISLAM